Oleh: Dahlan Iskan
Sudah ketemukah jalan keluar untuk Garuda Indonesia? Sudah ketemu.
Bahkan begitu banyak jalan keluar itu. Hanya saja belum juga diputuskan: jalan mana yang akan ditempuh. Belum ada yang mau memutuskan.
Yang sudah memutuskan justru otoritas pasar modal. Pekan lalu. Inilah putusan itu: Garuda dijatuhi hukuman. Perdagangan sahamnya terpaksa dihentikan. Anda sudah tahu kan? Itu membuat Garuda lebih sulit: tidak ada lagi patokan untuk menghitung nilai perusahaan.
Sebenarnya Garuda sudah berusaha keras untuk menghindari sanksi dari pasar modal itu. Enam bulan lalu. Yakni saat pertama Garuda tidak mampu membayar ”bunga” sukuk itu. Garuda pun melakukan restrukturisasi. Batas pembayarannya ditunda enam bulan. Enam bulan kemudian, pekan lalu, tidak mampu juga membayarnya. Maka perdagangan sahamnya pun dihentikan.
Berapakah pinjaman sukuk Garuda itu? Sangat besar: USD 500 juta. Sekitar Rp 7 triliun.
Sedih
Restrukturisasi sukuk enam bulan lalu itu hanya seperti mengulur karet gelang: akhirnya putus juga. Kesanggupan baru membayar bunga sukuk itu pun lewat begitu saja. Sekarang pun masih gelap dari mana uang untuk membayar ‘bunga’ sukuk itu.
Padahal hukuman tadi baru dicabut kalau kewajiban sudah dibayar. Berarti hukuman itu masih akan berlangsung lama. Dan problem itu akan bertambah-tambah. Sebentar lagi bukan hanya bunga yang jatuh tempo. Keseluruhan pinjaman sukuk itu menemui batas waktunya: harus dibayar bunganya, sekaligus pokoknya.
Tentu Garuda juga tidak tahu akan dapat uang dari mana. Jangankan kita, direksinya pun tidak akan tahu. Apalagi komisarisnya. Pun pemegang sahamnya.
Yang saya belum tahu: uang sukuk Rp 7 triliun itu milik siapa. Dipinjam dari mana. Semoga bukan dana haji.
Bagaimana dengan pemerintah?
Pemerintah sebenarnya ingin membantu Garuda: sampai Rp 10 triliun. Secara bertahap. Dicoba dulu Rp 1 triliun.
Dana talangan Rp 1 triliun itu hanya seperti gerimis kecil di gurun. Dua hari habis. Ludes. Menkeu tampaknya tidak mau lagi meneruskan triliun-triliun berikutnya.
Indonesia memang bukan Singapura. Yang mampu membantu Singapore Airlines Rp 250 triliun. Garuda juga bukan Singapore Airlines yang bisa dipegang disiplinnya.
Persoalan pun bertambah-tambah. Hari-hari ini kita menunggu kejutan baru lagi: apakah laporan keuangan Garuda tahun 2020 bisa beres. Laporan itu sudah harus disampaikan ke pasar modal tanggal 30 Juni.
Harusnya bisa. Itu kan jadwal baru. Seharusnya kan 30 Mei lalu. Sudah telat satu bulan. Untuk keterlambatan itu Garuda sudah pula dijatuhi denda.
Belum berhenti di situ.
Pun kalau laporan itu akhirnya berhasil dikirim, sebelum tanggal 30 Juni 2021 pukul 23.59. Isi laporan itu tetap bisa membuat jantung berdebar: disclaimer atau tidak.
Dari laporan keuangan itu kita akan tahu apa pendapat auditor Garuda: PwC. Disclaimer? Wajar?
Kita masih punya waktu dua hari untuk tebak-tebakan: disclaimer atau wajar. Artinya: ditolak atau tidak.
Dilihat dari mundurnya laporan keuangan itu, rasanya akan disclaimer. Namun, melihat optimisme dirut Garuda –yang mengatakan Garuda baik-baik saja– mungkin tidak disclaimer.
Namun, saya tidak mau diajak taruhan. Takut kalah. Saya tidak sampai hati untuk tidak memihak Pak Dirut dalam taruhan itu.
Bagaimana kalau hasilnya disclaimer?
Tentu Garuda lebih sulit lagi. Atau akan baik-baik saja. Yang jelas kita tidak bisa menyalahkan direksi Garuda yang sekarang. Apalagi komisarisnya. Semua ini akibat masa lalu. Dan masa lalu itu akibat masa sebelumnya. Dan masa sebelumnya itu akibat masa entah yang mana lagi.
Ini pendapat saya: direksi yang sekarang tidak salah. Maksud saya: kalau memang tidak salah mengapa tidak berani frontal.
Frontal pertama, negosiasi dengan perusahaan persewaan pesawat. Manfaatkanlah kasus korupsi di masa lalu itu, untuk negosiasi. Bilang saja: sewa ini kemahalan akibat korupsi.
Toh risikonya tidak akan menimpa Anda, Pak direksi.
Memang akan banyak pihak yang belingsatan. Anda tenang-tenang saja. Paling dipecat.
Kenapa takut dipecat?
Frontal berikutnya, gilirlah awak pesawat. Sesuai dengan jumlah pesawat yang diterbangkan. Jangan semua awak berstatus aktif semua. Padahal hanya separo pesawat yang terbang. Awak memang akan protes. Kesejahteraan menurun, tetapi ini kan soal hidup atau mati.
Jangan-jangan pemerintah tidak meneruskan bantuannya juga karena melihat direksi Garuda kurang tegas.
Frontal yang lain adalah frontalnya pemegang saham. Yang juga pemegang saham di Pertamina, di bank-bank BUMN, dan di bandara-bandara.
Utang Garuda di situ kira-kira Rp 30 triliun. Jadikan utang itu surat utang jangka panjang. Pasti Pertamina, bank BUMN, dan bandara sangat masygul.
Namun, perusahaan kan harus ikut keputusan pemegang saham. Hanya saja pemegang saham jangan mudah melakukan konversi utang itu. Tunggu dulu agar yang nomor satu dan dua berhasil dulu dilaksanakan oleh direksi.
Nomor satu dan dua itu penting agar pemegang saham bisa melakukan nomor tiga. Kalau tidak, manajemen dan karyawan di Pertamina, bank BUMN, dan bandara akan marah besar. Mengapa harus mereka yang prihatin.
Padahal Garuda sendiri tidak mau prihatin. Semua itu bukan ide saya. Ide saya kan PKPU, yang tidak berani dilaksanakan itu.
Satu, dua, dan tiga adalah ide banyak pihak yang beredar di media. Lalu saya olah. Saya pikirkan. Lalu saya simpulkan: ide itu bagus. Sangat mungkin untuk dilaksanakan. Toh tidak ada jalan lain lagi. Kecuali euthanasia.
Kalau semua ide itu pun tidak bisa dilaksanakan, Garuda kelihatannya memang sedang baik-baik saja. (disway.id)