SAYA pun sudah hampir lupa: begitu besar jasa beliau kepada Indonesia. Boleh dikata, beliaulah yang berhasil membu
wilayah Indonesia menjadi dua kali lipat. Tanpa perang. Tanpa pertumpahan darah.
Itulah beliau: Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja. Yang meninggal dunia Ahad kemarin. Dalam usia 92 tahun.
Pak Mochtar adalah ahli hukum laut. Yang pertama dimiliki Indonesia. Yang amat langka pun di dunia –saat itu.
Berkat teori Pak Mochtar maka laut di antara dua pulau di suatu negara adalah termasuk wilayah negara itu.
Singkat kata, beliau berhasil mengegolkan satu bentuk baru sebuah negara: negara kepulauan. Yang itu berbeda deng
daratan. Main land. Da Lu.
Dunia pun lantas menerima adanya bentuk negara kepulauan itu. PBB juga mengesahkannya. Jadilah United Nation C
of the Law of the Sea (UNCLOS).
Dari situ pula perundingan perbatasan laut antara Indonesia dan Australia disepakati. Padahal, sebelum itu, perunding
perbatasan tersebut sangat seret. Rumit. Diwarnai kepentingan ekonomi: ada sumber minyak di laut antara Indonesia
Australia itu.
Indonesia akhirnya memenangkan perundingan itu. Indonesia pun mendapat separo ladang minyak itu –yang setelah
merdeka menjadi bagian Timor Leste.
Saya tidak habis pikir: bagaimana bisa seorang pribumi seperti Pak Mochtar, di tahun 1955, sudah bisa lulus S-2 dari
University, Amerika Serikat. Untuk ilmu hukum. Berarti di tahun 1953 beliau sudah lulus sarjana hukum Universitas In
(UI).
Keluarga jenis apakah beliau? Kok begitu mementingkan pendidikan?
“Generasi kakak saya itu memang istimewa,” ujar Sarwono Kusumaatmadja, adik kandung pak Mochtar. “Kakak saya itu bergabung ke tentara pelajar. Namun, sekolahnya kok bisa selesai tepat waktu,” ujar Sarwono yang juga pernah menjadi menteri di zaman Pak Harto dan di zaman Gus Dur.
Sarwono adalah politikus besar: Sekjen Golkar yang sangat legendaris. Golkar, tetapi kritis. Kritis, tetapi Golkar.
Menurut Sarwono, ibundanya adalah keluarga pesantren Balerante di Cirebon. “Beliau orang pesantren pertama yang disekolahkan di sekolah Belanda,” ujar Sarwono. Sang ibu lantas menjadi guru SD di Sekolah Kartini.
Sedang ayahnya adalah pegawai di pemerintahan Belanda. “Ayah saya dari kalangan klein ambtenaar, tetapi profesi beliau asisten apoteker,” ujar Sarwono.
Sejak kecil Mochtar sudah terlihat pintar dan cerdas. “Kakak saya itu tergolong jenius,” ujar Sarwono mengutip pendapat banyak orang di sekitarnya. Kejeniusan itulah yang membuat ayah dan ibunya berbeda pendapat.
“Ibu saya minta agar Mochtar dibiayai untuk sekolah di luar negeri. Ayah saya tidak setuju. Menurut ayah, yang perlu dibantu adalah keluarga lain yang tidak mampu,” ujar Sarwono.
“Mochtar itu dibiarkan saja bisa jadi dengan sendirinya,” ujar sang ayah seperti ditirukan Sarwono. Akhirnya Mochtar tidak diberi uang. Ia pilih sendiri untuk sekolah di UI. Lalu ke Amerika Serikat.
Memilih sekolah ke Amerika itu pun sudah menunjukkan ”keanehan” tersendiri. Pada zaman itu semua anak muda ingin sekolah ke Belanda. Apalagi untuk ilmu hukum. Mereka pasti memilih ke Leiden.
“Kakak saya juga punya bakat bisnis,” ujar Sarwono.
Ketika kuliah di UI, pamannya yang di Cirebon sering membawa makanan khas daerah. Mochtar-lah yang mengedarkan makanan itu ke warung-warung. “Saya kebagian pekerjaan bungkus-bungkus,” ujar Sarwono lantas tertawa.
Sarwono sendiri kini berumur 77 tahun. Bicaranya masih tangkas. “Pak Sarwono terlihat sehat sekali,” kata saya mendengar nada bicaranya yang tetap tangkas.
“Saya ini OTG,” jawabnya.
Saya sempat terpancing oleh singkatan itu. “Saya juga OTG. Januari lalu,” kata saya. Ternyata OTG yang ia maksud berbeda dengan OTG yang ada di pikiran saya.
“Saya itu Orang Tua Gembira,” tukasnya.
Kami pun tertawa.
Berbeda dengan masa kecil Mochtar, Sarwono kecil dianggap sebagai anak kurang normal.
“Dokter mengatakan saya punya kelemahan syaraf motorik. Jangan terlalu banyak diharap,” ujar Sarwono mengenang masa kecilnya.
Dari gaya jalan kakinya saja sudah terlihat kelihatan tidak normal. “Banyak yang mengkhawatirkan saya,” katanya. Terutama kalau lagi jalan kaki berangkat sekolah.
“Tidak ada yang takut saya akan ditabrak mobil, justru saya yang dikhawatirkan akan menabrak mobil,” ujarnya.
Namun, pamannya melihat lain. Sarwono kecil itu dinilai punya banyak kelebihan. Hanya saja belum tahu di bidang apa kelebihan itu.
Maka ketika sang paman bertugas sebagai duta besar di Yugoslavia, Sarwono dibawa ke Eropa. Di umurnya yang 13 tahun.
Bahkan sang paman kemudian menyekolahkan Sarwono ke Inggris. “Dari sama sekali tidak bisa bahasa Inggris menjadi lulus terbaik,” katanya.
Itu untuk tingkat SMP. Lalu Sarwono masuk SMA Katolik di Jakarta. Setelah itu masuk perguruan tinggi terbaik, ITB.
Di kampus Sarwono aktif di gerakan mahasiswa. Jadilah tokoh mahasiswa. Lalu jadi politikus.
Sarwono pun akhirnya menjadi menteri. Tiga kali pula: Menteri Kelautan, Menteri Lingkungan Hidup, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.
Mochtar Kusumaatmadja sendiri juga tiga kali menjadi menteri. Yakni Menteri Kehakiman dan dua kali Menteri Luar Negeri.
Keluarga ini memang ”keluarga Menteri”. Putri Pak Mochtar, Prof Dr Armida Alisjahbana adalah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Di era Presiden SBY. Satu angkatan dengan saya.
Tentu banyak yang kaget ketika nama Pak Mochtar tiba-tiba muncul di media: meninggal dunia Ahad lalu. Beliau memang sudah sangat lama tidak ”beredar” di pemberitaan. Yakni sejak beliau sakit: 1999.
“Awalnya beliau kebanyakan obat,” ujar Sarwono.
Dokter berikutnya lantas mengurangi obat. Tinggal dua jenis saja. Beliau pun sehat kembali. Namun, sudah terlambat. Beliau memang masih bisa berpikir, berbicara, dan mendengarkan, tetapi tidak bisa lagi bicara.
Beliau juga bisa bergerak, tetapi lebih banyak di kursi roda.
Hampir 20 tahun Pak Mochtar dalam keadaan seperti itu. Mirip sekali dengan bos saya dulu, yang juga Bendahara Umum DPP Golkar: Eric Samola. Dari kebanyakan obat menjadi seperti itu.
Pak Mochtar akhirnya meninggal dunia. Dari jasa-jasanya pada negara tentu harus sekali Pak Mochtar Kusumaatmadja menjadi pahlawan nasional. (Dahlan iskan)
Sumber: disway.id