Dr. Wendy Melfa
Peneliti pada Ruang Demokrasi (RuDem)
ADA PROSES dan HARAPAN
Pemilu (Pilpres) adalah mekanisme ketatanegaraan yang disepakati dan tertuang pada konstitusi serta peraturan perundangan secara politik, demokrasi, dan hukum untuk menyeleksi dan memberikan mandat (melegitimasi) menjalankan kekuasaan menyelenggarakan pemerintahan selama lima tahun bagi calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat dukungan suara pemilih (rakyat) paling banyak sebagai wujud dari kedaulatan rakyat.
Mekanisme ketatanegaraan itu terkandung proses yang berupa rangkaian tahapan Pilpres dari pencalonan sampai dengan pelantikan, dalam setiap tahapan itu ada mekanisme kontrol oleh lembaga yang diberi wewenang oleh UU, kontrol yang bersifat administratif kewenangannya ada pada Bawaslu, kontrol yang mengandung unsur pidana Pemilu kewenangannya ada pada Gakumdu, dan kontrol terhadap hasil pemilihan kewenangannya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Adanya mekanisme dan lembaga kontrol ini sebagai jaminan hukum akan terjaganya penyelenggaraan Pemilu yang berjalan dengan prinsip-prinsip JURDIL (jujur dan adil) dan LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia), inilah salah satu esensi dari keberadaan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan juga sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum. Keseluruhan tahapan itu bermuara pada harapan akan dapat terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden hasil Pemilu yang legitimate secara politik dan hukum dari dan sebagai kontestan Pilpres 2024.
SISI KEADILAN, PROSEDUR atau SUBSTANTIF
Mahkota dari suatu penyelenggaraan Pemilu (Pilpres) adalah pemungutan suara, tentu saja beserta hasilnya. Hanya tenggat tiga hari sejak ditetapkan oleh KPU hasil perhitungan manual berjenjang (Pemilu dalam arti materiil), pihak yang keberatan dapat mengajukan permohonan hasil Pemilu (PHPU) melalui Mahkamah Kostitusi sebagaimana ditentukan oleh Konstitusi dan UU Pemilu, dalam hal ini paslon 01 dan 03 sebagai Pemohon, KPU RI sebagai Termohon, paslon 02 sebagai pihak terkait, dalam 2 nomor perkara yang berbeda meski pemeriksaan acara persidangannya disatukan.
Publik sudah mengikuti persidangan ‘speedy trial’ 14 hari yang digelar MK untuk memberikan kesempatan semua pihak yang bersengketa untuk menyampaikan dalil-dalil keberatannya, menyimak dan memeriksa bukti dan fakta yang dinilai secara hukum, juga memberikan kesempatan kepada warga negara sebagai Amicus Curiae (sahabat pengadilan) untuk ‘ikut nimbrung’ dalam sengketa ini, dan sesuai dengan waktu yang diberikan oleh UU, tanggal 22 April Majelis Hakim MK membacakan putusannya. Selama 14 hari itu, melalui berbagai media; publik dapat menyaksikan, menyimak dan turut serta mendiskusikan tentang banyak hal, utamanya yang menjadi benang merah substansi dan prosedur hukum yang ditampilkan pada persidangan MK, juga diperkaya dengan ‘panggung-panggung’ kecil di luar persidangan yang bisa kita simak melalui media cetak, tv, media sosial, forum kajian dan diskusi lainnya yang memuat berbagai hal dari pembentukan (penggiringan) opini, counter opini, framing, bahkan ada juga yang sekedar gimik politik yang secara keseluruhan dapat kita dapatkan hadirnya sebuah etalase politik, demokrasi, dan hukum yang berisikan asas, teori, dan perkembangannya, dan disinilah bangsa Indonesia mendapatkan ramuan pendidikan politik, demokrasi, dan hukum yang luar biasa.
Melalui putusan Majelis MK yang dibacakan secara terbuka tanggal 22 April, Majelis MK yang bersidang dengan formasi tiga orang Hakim MK disenting opinion (beda pendapat: Yang Mulia Arief Hidayat, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih) dan lima Hakim Yang Mulia lainnya memutuskan yang pada pokoknya; Menolak Permohonan 01 dan 03 untuk seluruhnya. Majelis MK juga mengakomodir seluruh masukan surat tertulis dari mereka yang disebut sebagai Amicus Curiae, Majelis juga tetap memeriksa permohonan/ dalil dari Pemohon 01 dan 03 diluar hal -hal yang berkaitan dengan perselisihan suara, namun dari pembuktiannya dipersidangkan dalil atau narasi yang tidak diikuti dengan pembuktian, atau dibuktikan bukan secara hukum, tetap ditolak atau dinyatakan tidak dapat dibuktikan secara hukum, sedikitnya yang berkaitan dengan tiga issue besar; pencalonan Gibran Raka Bumiraka sebagai Calon Wakil Presiden pasangan 02, karena tidak ada Parpol maupun pasangan calon Presiden/ Wakil Presiden yang menolak pada saat pencalonan (ditolak dan dipersoalkan setelah pemungutan suara), narasi yang berkaitan dengan Bansos dan Perlinsos Pemerintah yang berdampak pada perolehan suara 02 (tidak dapat dibuktikan secara hukum), juga narasi yang berkaitan dengan keterlibatan struktur dan kekuasaan termasuk mekanisme PJ Kepala Daerah yang berdampak pada perolehan suara 02 (tidak terbukti secara hukum) dan ada banyak hal lain yang bisa kita pelajari dan dapatkan, termasuk beberapa pertimbangan Majleis MK yang tentu akan sangat berguna bagi perbaikan demokrasi dan Pemilu kita kedepan.
MENDORONG untuk PATUH DAN DEWASA
Prosedur tidak mungkin meninggalkan substansi, dan substansi hanya dapat terwujud manakala prosedurnya diikuti, teori ini berkaitan dengan demokrasi (ada politik dan hukum didalamnya), demokrasi dapat berdiri dan dijalankan manakala antara prosedur dan substansinya saling beriringan dan melengkapi. Tahapan pemeriksaan persidangan ‘speedy trial’ di MK secara prosedur hukum harus dihentikan setelah 14 hari persidangan, ketentuan hukum yang berlaku (legalitas) bahwa upaya permohonan sengketa PHPU di MK adalah adalah mekanisme akhir yang dapat ditempuh oleh pihak-pihak paslon Presiden/ Wakil Presiden yang berkontestasi pada Pilpres 2024, serta putusan Majelis MK bersifat final and binding, tidak ada upaya hukum apapun setelahnya.
Hadirnya putusan Majelis MK telah juga menjadikan Pilpres 2024 dapat dinyatakan selesai secara materiil dan prosedur, hanya satu tahapan lagi yaitu pelantikan Presiden dan Wakil Presiden hasil Pemilu 2024 pada rapat paripurna Majelsi Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang khusus diagendakan untuk itu. Tahapan ini mendorongnya bangsa Indonesia untuk move on dari dinamikan Pilpres 2024, bangsa ini tetap harus melangkah maju melanjutkan pembangunannya mempersiapkan dan memasuki Indonesia Emas 2045, satu abad Indonesia, dimana tantangan, peluang, dan sekaligus harapan terbentang luas. Prosedur demokrasi kita mendorong semua pihak untuk mengakui dan menghormati Pilpres 2024 baik secara politik, demokrasi, dan juga hukum sebagai landasan legitimasinya yang kokoh hadirnya kedaulatan rakyat melalui Pilpres dengan perolehan suara 96.214.691 suara atau 58,59 %, perolehan suara tertinggi Pilpres seluruh dunia, untuk saat ini.
Hadirnya kedewasaan berdemokrasi di Indonesia juga semakin nampak, bukan saja pihak yang bersengketa memilih lembaga hukum sebagai cara untuk menyelesaikan permasalahan Pilpres (bukan dengan cara ‘jalanan’), juga ditunjukkan secara kesatria oleh Paslon 01 dan 03 dengan mengakui dan menghormati putusan Majelis MK, serta ucapan SELAMAT BEKERJA kepada Paslon 02 yang mendapatkan suara tertinggi dari rakyat pada Pilpres 2024. Saatnya juga semua bangsa Indonesia untuk bersatu kembali move on meninggalkan dinamika dan perbedaan pada Pilpres yang lalu, sebagai satu bangsa Indonesia. (*)
			
					


 
							