banner 300600

Pajak Kendaraan Bermotor di Lampung: Dari Data Hantu Hingga Rendahnya Kepatuhan

Dr. Saring Suhendro Akademisi Unila. Foto Istimewa

Oleh: Saring Suhendro, S.E., M.Si., Akt., CA.

 

banner 300600

(Akademisi FEB Unila)

 

Kenapa pajak kendaraan Lampung tahun ini seret? Jawabannya ada dua: data potensi yang tidak riil dan kepatuhan wajib pajak yang rendah. Angka proyeksi Bapenda tahun 2025 menunjukkan capaian pajak daerah baru 73,49% dari target, sementara PKB hanya 42,20%. Ini jelas alarm keras: ada yang salah dalam cara kita memungut pajak kendaraan. Jika masalah ini tidak segera diurai, dampaknya akan langsung terasa pada pembangunan daerah.

 

Data yang tidak riil menciptakan “kendaraan hantu” dalam pembukuan. Kendaraan yang rusak, hilang, musnah, atau berpindah tangan tetapi tidak balik nama masih tercatat. Padahal mustahil ditagih. Di sisi lain, tunggakan pajak lebih dari lima tahun nyaris tidak bergerak, hanya di bawah 2%. Jadi ini bukan sekadar persoalan administrasi, melainkan masalah tata kelola fiskal yang dapat menggerogoti kredibilitas pemerintah daerah.

 

Dalam konteks inilah, kebijakan Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal yang menugaskan Sekdaprov Dr. Marindo Kurniawan untuk memimpin langsung evaluasi pajak kendaraan merupakan langkah penting dan mendesak. Ini bukan hanya upaya administratif, tetapi strategi untuk menjawab dua persoalan inti tadi. Dari perspektif akademis, kebijakan ini sejalan dengan teori kepatuhan pajak (tax compliance). Pertama, membangun kepatuhan sukarela (voluntary compliance), di mana masyarakat membayar karena sadar manfaatnya dan mendapat pelayanan yang baik. Kedua, menciptakan kepatuhan berbasis efek jera (deterrence compliance), di mana masyarakat membayar karena merasa ada risiko diawasi. Ketika aparat Samsat, polisi, Jasa Raharja, lurah, hingga RT ikut bergerak, kedekatan sekaligus pengawasan ini menjadi nyata. Inilah konsep whole of government (WoG) yang sering hanya jadi jargon, namun kini mulai diterapkan.

 

Namun, langkah ini bukan obat mujarab. Tanpa pembersihan data, strategi lapangan hanya akan menghabiskan energi. Gubernur perlu memastikan ada tim khusus lintas instansi untuk segera memilah data: mana yang benar-benar bisa ditagih dan mana yang harus dihapus dari potensi. Setelah itu, penagihan akan lebih efisien. Layanan pun harus dipermudah, mulai dari Samsat Drive Thru, kanal digital, hingga kerja sama dengan sektor swasta. Prinsipnya sederhana: jangan sampai membayar pajak lebih ribet daripada membeli pulsa.

 

Kebijakan optimalisasi UPTD Samsat juga harus disertai dengan insentif kinerja. Aparat lapangan memerlukan motivasi. Jika capaian meningkat, wajar bila ada penghargaan. Hal ini sesuai dengan teori agensi: tujuan agen (aparat) harus selaras dengan tujuan prinsipal (pemerintah). Sebaliknya, Inspektorat provinsi harus memperkuat pengawasan agar integritas tetap terjaga.

 

Klarifikasi Sekdaprov bahwa tidak ada larangan membeli BBM bagi kendaraan yang menunggak pajak merupakan langkah tepat. Jika isu-isu seperti ini tidak segera diluruskan, kepercayaan warga akan luntur. Padahal keberhasilan pajak sangat bergantung pada rasa percaya antara pemerintah dan warganya.

 

Saya melihat kebijakan ini berada di jalur yang benar. Namun, hasilnya sangat bergantung pada konsistensi di lapangan. Lampung memiliki peluang untuk mengejar bahkan melampaui target. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!