Dr. Wendy Melfa
Akademisi UBL, Penggiat Ruang Demokrasi (RuDem)
CUMA SARAN, BENARKAH TIDAK BERWENANG ?
Permintaan dalam bentuk saran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian kepada seluruh Kepala Daerah (Kada) “mengevaluasi” besaran tunjangan DPRD di wilayah masing-masing . Hal ini dilatarbelakangi untuk menanggapi aspirasi masyarakat yang keberatan dengan tingginya tunjangan anggota dewan. Memperhatikan situasi ekonomi dan keadaan secara umum yang sedang prihatin dan kesusahan, saran Mendagri itu patut diapresiasi karena peka dan bertujuan baik, hanya cara yang ditempuh tidak bisa dipahami dengan mudah dan dapat berimplikasi yang tidak baik.
Berdasarkan Konstitusi Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945: “ … tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”, selanjutnya menurut UU Pemerintahan Daerah; penyelenggara pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan DPRD [vide Pasal 1 Ayat (2) UU 23/2014] yang masing-masing berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi berbeda, dimana DPRD mempunyai fungsi pembentukan Perda, anggaran, dan pengawasan, sedangkan Kepala Daerah melaksanakan fungsi pelaksana atas Perda dan Kebijakan daerah.
Selanjutnya berdasarkan UU Pemerintahan Daerah, Pemerintah menetapkan kebijakan sebagai dasar dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan (Pasal 6), serta Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah (Pasal 7 (1)), dalam konteks pemberian tunjangan terhadap Anggota DPRD diatur dalam PP 18/ 2017 tentang Hak Keuangan dan Administrasi Pimpinan dan Anggota DPRD, selanjutnya Kepala Daerah Pergub/ Perbub/ Perwali sebagai landasan operasional pelaksanaannya. Hirarki regulasi sebagai landasan pemberian hak tunjangan Anggota dan Pimpinan DPRD tersebut telah secara terang dan jelas mengkonstruksikan landasan hukum dan operasional, termasuk pengaturan besaran tunjangan dimaksud untuk bisa diberikan kepada DPRD. Maka menjadi terasa “aneh” manakala Mendagri dalam pengakuannya menyatakan bahwa Pemerintah Pusat sebenarnya tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri ranah pemberian tunjangan DPRD, dan untuk itu Mendagri ‘hanya’ menyarankan Kepala Daerah dan DPRD untuk berkomunikasi dan melakukan evaluasi terhadap tunjangan anggota dewan (Kompas.com, 9/9/25).
ANATOMI KEKUASAAN PEMERINTAHAN
Otonomi struktur pemerintahan Indonesia terdiri dari Pemerintah Pusat yang dikepalai oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, dan Pemerintah Daerah yang merupakan ‘perpanjangan tangan’ pemerintah pusat untuk menjalankan pemerintahan di daerah dengan kewenangan dan prinsip otonomi daerah secara berjenjang Provinsi sampai Kabupaten dan Kota. Termasuk DPRD itu dalam perspektif ketatanegaraan adalah pada dasarnya adalah bagian dari eksekutif yang menjalankan fungsi legislatif.
Secara norma sebagaimana tertuang dalam UU Pemerintahan Daerah, penyelengara Pemerintahan Daerah yang terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD mengandung konsekuensi sejajar dengan masing-masing fungsi yang saling melengkapi. Untuk melaksanakan’saran’ Mendagri agar Kepala Daerah mengevaluasi tunjangan DPRD tidak berkesesuaian dengan hirarki regulasi dan kewenangan, bahkan justru dapat menciptakan problem di daerah, dari soal ketidak samaan antar daerah dalam pengambilan kebijakan hasil evaluasi yang dapat menimbulkan ‘disparitas’ penerapan kebijakan di daerah yang mungkin saja dapat berbuntut menimbulkan ‘kecemburuan’ antar daerah, tidak dipatuhi harapan Mendagri oleh Pemerintah Daerah disebabkan kekuatan hukumnya ‘hanya’ sebatas ‘saran’ yang tidak mengandung sanksi apapun apabila tidak dijalankan atau dipatuhi oleh Pemerintah Daerah, atau dalam kondisi yang lebih tidak baik apabila evaluasi dan komunikasi Kepala Daerah dalam meninjau tunjangan DPRD itu dipatuhi DPRD dengan catatan DPRD-pun akan ‘mengevaluasi’ dan menurunkan berbagai “tunjangan” operasional dinas dari pihak eksekutif yang juga merupakan DPRD dengan narasi penghematan dan menyesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sedang susah, dan narasi itu juga make sense dengan situasi saat ini.
Upaya menyamakan dari pihak DPRD ini jika kemudian dimaknai sebagai ‘serangan balik’ DPRD atas evaluasi yang dilakukan Kepala Daerah terhadap tunjangan DPRD dan kemudian berdampak pada efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka masyarakat juga yang akan menanggung akibatnya, dan tujuan pelaksanaan otonomi daerah akan menjadi taruhannya, mungkin hal ini sesuatu yang bisa dianggap berlebihan, meskipun narasi itu patut juga untuk diperhatikan.
REGULASI SEBAGAI SOLUSI
Mempertimbangkan; Pemerintah Pusat melalui Mendagri sebagai pembantu Presiden selaku Kepala Pemerintahan, memperhatikan; PP 18/2017 sebagai landasan hukum pengaturan pemberian tunjangan Anggota dan Pimpinan DPRD, maka pengaturan tunjangan sepatutnya dikelola dengan pendekatan politik hukum terhadap pengaturan landasan pemberian tunjangan itu sendiri, yaitu dengan cara rasionalisasi serta penyesuaian dengan keadaan masyarakat saat ini (living law), fungsi hukum sebagai pengatur dikedepankan. Dengan demikian akan menghilangkan sekat-sekat psikologis unsur penyelenggara pemerintahan daerah antara Kepala Daerah dan DPRD, ada kepastian, ada standardisasi, oleh karena itu penyesuaian atau revisi atas PP 18/2017 menegaskan hukum dijadikan sebagai sarana penyesuaian keadaan (social engineering), sekaligus berfungsi sebagai pengatur dan sarana efektif untuk mengevaluasi kebijakan yang akan diikuti sebagai tanda kepatuhan terhadap regulasi, ketimbang hanya dengan pendekatan saran Mendagri yang tidak mengandung unsur kepatuhan karena tidak dikenal dalam hirarki peraturan perundangan kita, dapat menimbulkan dampak-dampak lain dalam penerapannya di daerah, dan lebih mencerminkan sikap ambigu dalam mengambil keputusan. (*)