radarcom.id – Meski dianggap dapat menanggulangi masalah sampah di berbagai wilayah, Peneliti Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Budi Heru Santosa, menilai program Pengelolaan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) bila tidak dikelola secara hati-hati sangat berbahaya.
Bila tidak dikelola dan diawasi dengan tepat PSEL justru akan menimbulkan masalah baru berupa peningkatan polusi udara. Bahkan dalam kondisi tertentu pencemaran udara akibat PSEL akan mengganggu kesehatan masyarakat luas.
“Pemerintah Indonesia tidak boleh terjebak pada narasi solusi instan dalam menangani krisis sampah hanya dengan pembangunan PSEL sebagai satu-satunya solusi. Meski tampak menjanjikan, teknologi ini menyimpan risiko besar terhadap keberlanjutan lingkungan dan kesehatan masyarakat,” ujar Budi.
Budi menambahkan pembangunan PSEL memang menawarkan potensi untuk mengurangi volume sampah dan menurunkan emisi metana yang berbahaya, namun proses ini tetap menghasilkan emisi karbon dalam jumlah signifikan, yang bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
Namun ia menyebut biaya pembangunan dan operasional PSEL sangat tinggi dengan demikian berpotensi membebani anggaran negara dan tidak efisien, terutama di kota-kota dengan kapasitas fiskal terbatas.
Di beberapa tempat pembangunan PSEL ini justru ditentang masyarakat karena kekhawatiran terhadap pencemaran udara dan dampak kesehatan jangka panjang, yang bisa memperburuk kualitas hidup warga.
“Dari sudut pandang Gerakan Zero Waste, PSEL justru menghambat kemajuan dalam budaya daur ulang dan desain produk berkelanjutan. Sampah yang dikonversi menjadi energi bukanlah sumber energi terbarukan dan pembakaran bukan solusi jangka panjang yang ramah lingkungan.
Walaupun saat ini PSEL sering dianggap lebih baik dibandingkan dengan pembuangan sampah ke TPA yang tidak dikelola dengan baik, seharusnya teknologi ini hanya diterapkan sebagai pelengkap dari sistem pengelolaan sampah yang ramah lingkungan dan rendah karbon.
Dalam jangka panjang, Pemerintah harus lebih serius merencanakan dan melaksanakan solusi berbasis pengurangan, daur ulang, dan komposting lebih berkelanjutan dan lebih hemat biaya,” terang Budi.
Budi minta Pemerintah mengawal proyek PSEL yang sedang direncanakan dengan melibatkan para pihak yang berkepentingan untuk memastikan bahwa teknologi ini tidak membawa dampak negatif yang lebih besar daripada manfaatnya.
Jika memungkinkan Pemerintah sebaiknya mengucurkan investasi pada infrastruktur pengelolaan sampah yang lebih ramah lingkungan, seperti daur ulang, komposting, dan desain produk berkelanjutan. Hal ini akan mendukung tujuan Indonesia dalam mengurangi sampah plastik dan emisi karbon.
“Selain itu Pemerintah perlu memperkuat regulasi yang mendorong produsen untuk bertanggung jawab atas siklus hidup produk mereka, melalui mekanisme Extended Producer Responsibility (EPR). Ini akan memastikan bahwa produk-produk yang dihasilkan dapat didaur ulang atau diproses dengan cara yang lebih ramah lingkungan.
Keterlibatan masyarakat sipil dan komunitas lokal dalam perencanaan kebijakan pengelolaan sampah berbasis prinsip Zero Waste sangat penting. Edukasi dan partisipasi aktif warga dalam pemisahan sampah serta upaya mengurangi sampah di sumbernya akan mempercepat transisi menuju sistem pengelolaan sampah yang lebih efisien,” imbuh Budi.
“PSEL sebaiknya hanya dipandang sebagai solusi sementara dan terbatas, bukan sebagai strategi utama pengelolaan sampah nasional. Fokus utama harus tetap pada upaya pencegahan, pengurangan, dan daur ulang sampah,” tegasnya. (rls/Iis)