radarcom.id – Peneliti Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Pujiatmoko menilai target swasembada pangan tahun 2027 terancam sulit diwujudkan. Hal ini disebabkan karena ada perubahan iklim, pengurangan lahan pertanian, keterbatasan penggunaan teknologi pertanian terbaru dan dukungan pendanaan bagi subsidi bahan pertanian.
Pujiatmoko sarankan Pemerintah melakukan evaluasi komprehensif agar berbagai kendala dapat diatasi. Menurutnya realisasi target swasembada sangat bergantung pada perbaikan dan kesiapan faktor penunjang tersebut.
“Evaluasi pencapaian target swasembada pangan hingga awal 2025 menunjukkan bahwa meskipun pemerintah telah berupaya keras meningkatkan produksi pangan dalam negeri, hasilnya masih belum maksimal.
Komoditas seperti beras, jagung, gula, dan garam masih bergantung pada impor, yang mencerminkan ketidaksesuaian antara target ambisius dan realitas produksi domestik.
Beberapa faktor utama yang menghambat pencapaian tersebut antara lain alih fungsi lahan, ketergantungan pada impor bahan baku seperti pupuk dan pakan, serta dampak perubahan iklim yang secara signifikan mempengaruhi hasil pertanian,” terang mantan Atase Pertanian Tokyo ini.
Pujiatmoko melihat sejumlah kelemahan dan kendala dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2025-2029 khususnya PSN Ketahanan Pangan dalam mencapai target swasembada. Keterbatasan infrastruktur pertanian dan distribusi pangan di daerah terpencil masih menjadi hambatan besar, sementara ketergantungan yang tinggi terhadap impor pangan mengindikasikan ketidakseimbangan dalam kebijakan pengelolaan antara pemerintah pusat dan daerah.
Selain itu, masalah konversi lahan, degradasi lingkungan, dan kurangnya dukungan terhadap diversifikasi pangan juga menjadi faktor penghambat yang tak dapat diabaikan dalam upaya mencapai swasembada pangan.
“Untuk mencapai swasembada pangan, penting untuk mengurangi ketergantungan pada beberapa komoditas utama dengan mendorong diversifikasi produk pangan domestik. Salah satu langkah strategis adalah mendukung komoditas lokal yang memiliki potensi untuk menggantikan impor, seperti umbi-umbian. Dengan diversifikasi ini, ketahanan pangan nasional dapat diperkuat tanpa bergantung pada impor yang rentan terhadap gangguan.
Selain itu, peningkatan infrastruktur pertanian dan sistem distribusi harus menjadi prioritas. Akses petani terhadap teknologi pertanian modern perlu ditingkatkan, diikuti dengan penguatan infrastruktur yang mendukung distribusi hasil pertanian yang lebih efisien, seperti jaringan irigasi yang lebih baik dan sistem penyimpanan pangan yang memadai. Hal ini akan mengurangi pemborosan hasil pertanian dan memastikan pangan dapat disalurkan tepat waktu ke konsumen,” ujarnya.
Hal lain yang perlu dilakukan adalah reformasi kebijakan harga dan subsidi untuk menciptakan ekosistem yang lebih adil bagi petani. Harga produk pertanian harus disesuaikan dengan biaya produksi yang sesungguhnya, dan subsidi harus diberikan secara terarah untuk mendukung produksi bahan pangan domestik, khususnya bagi petani kecil dan menengah. Kebijakan harga yang realistis akan memberikan insentif yang lebih baik bagi petani untuk meningkatkan hasil produksinya,” tegasnya. (rls/Iis)