radarcom.id – Menyusul mundurnya AS dari Perjanjian Paris sebagaimana disampaikan Presiden Trump, Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Mulyanto minta Pemerintah Indonesia meninjau ulang optimisme terkait program NZE (net zero carbon emmision) di tahun 2060, termasuk keikutsertaan dalam program Just Energy Transition Partnership (JETP).
Mulyanto menilai beberapa implementasi program JETP seperti menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) secara dini dengan kocek sendiri sangat berisiko.
Mulyanto mengingatkan jangan sampai Indonesia didikte oleh negara lain atau terlalu memaksakan diri.
“Dalam implementasi program NZE ini, berbagai faktor harus dipertimbangkan secara seksama jangan sekedar ikut-ikutan atau gagah-gagahan. Selain pertimbangan lingkungan, yang tidak kalah penting adalah pertimbangan ekonomi domestik dan ketahanan energi.
Kita tidak ingin di tengah keterbatasan ruang fiskal yang ada, demi program NZE kita malah memilih opsi pembangkit listrik yang mahal atau menjadi lebih tergantung kepada teknologi impor.
Termasuk juga memaksakan diri untuk melakukan program pensiun dini PLTU yang jelas-jelas tidak menguntungkan secara ekonomis.
Apalagi secara gagah-gagahan kita secara sadar meliberalisasi sektor kelistrikan nasional, dengan mengadopsi skema power wheeling yang melanggar konstitusi,” ujar Mulyanto.
Mulyanto minta Indonesia jangan termakan janji-janji manis negara maju terkait implementasi NZE. Uni Eropa saja maju-mundur dalam implementasi ini pasca perang Rusia-Ukraina meletus. Sekarang AS malah menarik diri dari Perjanjian Paris.
“Kita harus fokus pada kepentingan nasional kita (national interest),” tegas Mulyanto yang sebelumnya adalah Anggota Komisi Energi, DPR RI Periode (2019-2024).
PT PLN (Persero) mengakui bahwa sampai hari ini belum ada pendanaan dari Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk pengembangan pembangkit listrik hijau di Indonesia.
Sebelumnya yang ada adalah penawaran pendanaan untuk energi hijau berbasis bunga komersil.
Sementara kita tahu JETP yang diinisiasi oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) menjanjikan pendanaan murah untuk energi hijau kepada Indonesia senilai USD 20 miliar atau setara Rp 300 triliun.
Keluarnya AS dari Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement tentunya mempengaruhi pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) di Indonesia menjadi semakin seret.
Untuk diketahui Donald Trump menyatakan penarikan diri AS dari Perjanjian Paris. Pernyataan tersebut tertera dalam Perintah Eksekutif setelah Trump dilantik pada Senin, 20 Januari 2025.
Trump menandatangani Perintah Eksekutif di atas panggung di hadapan para pendukungnya di sebuah arena di Washington DC. Dia menyebut aksinya tersebut untuk menghentikan ‘tipuan perjanjian iklim Paris yang tidak adil dan sepihak.’ (rls/Iis)