radarcom.id – Terjadinya lagi ledakan smelter nikel di Kawasan IMIP Morowali pada 25 Oktober 2024 di PT. DSI dan 30 Oktober 2024 di PT. ZTEN menandakan pengawasan Keselamatan dan Keamanan Kerja di kawasan tersebut sangat lemah.
Karena itu Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Mulyanto minta Pemerintah mencabut sementara izin operasional seluruh perusahaan pemurnian bijih nikel yang bermasalah. Selanjutnya Pemerintah melakukan audit komprehensif terhadap kualitas mesin, alat dan sumberdaya manusianya.
Anggota Komisi Energi DPR RI 2019-2024 itu menilai selama ini Pemerintah abai untuk melindungi keselamatan pekerja, karena sampai hari ini audit komprehensif terhadap smelter yang dikelola perusahaan asal Tiongkok tersebut belum dijalankan.
“Kita khawatir akan kualitas dan keandalan dari mesin-mesin smelter ini bagi keselamatan pekerja, masyarakat dan lingkungan.
Pemerintah jangan memudahkan pemberian izin pengelolaan industri smelter sebelum memastikan bahwa industri smelter tersebut benar-benar aman untuk dikelola.
Karenanya tidak heran kalau dengan kondisi tersebut, buruh smelter menjadi trauma dan bekerja dengan perasaan was-was,” terang Mulyanto.
Mulyanto menyebut sekarang saat yang tepat bagi Pemerintah mengevaluasi secara menyeluruh program hilirisasi mineral nasional. Terlebih sekarang jumlah menteri-menteri dan wakil menteri lebih banyak.
“Pemerintah jangan anggap enteng rentetan kecelakaan di smelter milik perusahaan China ini hanya karena ingin mengejar setoran investasi. Keselamatan pekerja harusnya menjadi hal yang utama,” kata Mulyanto.
Mulyanto berharap rentetan peristiwa ledakan smelter dapat menjadi momentum untuk evaluasi kebijakan hilirisasi. Pemerintah perlu mengadakan pembaruan kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia agar semakin optimal dalam memberikan nilai tambah domestik dan efek kesejahteraan bagi masyarakat.
“Ini kan menyedihkan kalau sebentar-bentar terjadi ledakan smelter yang menimbulkan kerugian besar bagi pekerja ataupun masyarakat. Sementara nilai penerimaan keuangan negara dari program hilirisasi tidak sebanding dengan insentif yang diberikan Pemerintah.
Pasalnya, berbagai kemudahan dan insentif fiskal maupun non fiskal, termasuk pembebasan PPh badan dan bea keluar ekspor telah digelontorkan negara untuk mendukung habis-habisan sektor ini. Belum lagi dampak sosial-lingkungan yang terus berulang baik ledakan smelter beruntun, maupun bentrok antar pekerja,” terang Mulyanto.
Padahal, lanjut Mulyanto, produk program hilirisasi ini hanya berupa nickel pig iron (NPI) dan ferro nikel dengan nilai tambah rendah. Sedang sembilan puluh persen lebih penerimaan hasil ekspor produk smelter dinikmati oleh investor asing.
“Program hilirisasi setengah hati ini harus dihentikan. Saatnya kita evaluasi secara menyeluruh program hilirisasi nasional agar kita dapat meningkatkan nilai tambah domestik dan Indonesia menjadi semakin berdaulat,” tandasnya. (rls/Iis)