Pilgub Lampung; Pertarungan Kohort, Siapa Bakal Menang?

Penulis: Dr. H. Andi Surya
Akademisi UMITRA (Universitas Mitra Indonesia), Bandar Lampung

Dua pasangan calon gubernur-wakil gubernur di Pilkada Lampung 2024 dapat diumpamakan mewakili dua generasi (kohort, kelompok umur) berbeda. Pasangan Rahmat Mirzani Djausal-Jihan Nurlela (Mirza-Jihan) dianggap mewakili ‘generasi milenial’. Usia keduanya berkisar 30-40 tahun yang merasakan transisi era internet. Sementara pasangan Arinal Djunaidi-Sutono (Arinal-Sutono) merepresentasikan ‘generasi baby boomers’, yang berusia di atas 50 tahun. (Kompas, 23/09/2024).

banner 300600

Baby Boomers, yaitu generasi yang saat ini berusia 56-74 tahun (lahir 1946-1964). Dikatakan generasi Baby Boomers karena adanya ledakan angka kelahiran setelah Perang Dunia II. Generasi Baby Boomers ini dikenal kompetitif karena hidup di masa sulit yang minim lapangan pekerjaan.

Generasi milenial adalah generasi yang lahir antara tahun 1981 dan 1996. Generasi ini juga dikenal sebagai generasi Y, generasi digital, atau generasi N. Saat ini generasi milenial berusia antara 24-39 tahun.

Kohort adalah sekelompok orang yang memiliki karakteristik yang sama dalam sebuah penelitian. Karakteristik ini biasanya ada pada usia, generasi, dan lingkungan sosial demografis. Diasumsikan dalam Pilgub Lampung terdapat dua kandidat dengan kohort yang berbeda, yaitu kohort Milenial (Mirza-Jihan) dan kohort Baby Boomers (Arinal-Sutono).

Dua pasang kandidat Cagub dan Cawagub dari latar belakang kohort yang berbeda ini menarik untuk diamati, sekaligus melihat sampai sejauh mana masyarakat Lampung mengapresiasi, sebab insentif elektoral tidak hanya dari dua generasi ini saja, namun terdapat generasi lain berdasarkan kohort usia, antara lain; generasi X, generasi Z, generasi lanjut usia di atas 75 tahun, hingga pemilih pemula usia di bawah 20 tahun,

Komposisi Pemilih Lampung
Untuk memilah pemilih berdasarkan kohort generasi, yaitu; milenial (gen Y), baby boomers, generasi X, generasi Z, generasi lanjut usia 76 tahun ke atas, hingga pemilih pemula usia di bawah 20 tahun, tentu memiliki kriteria tersendiri. Selain itu tingkat aspiratif dari masing-masing generasi ini tentu berbeda, sesuai dengan kematangan kepribadian dan cara berpikir generasi masing-masing, meskipun hal tersebut tidak mutlak karena bisa saja saling beririsan.

Jika menilik informasi KPU Lampung, maka diketahui, daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024 provinsi ini yang sebanyak 6.539.128 jiwa, tersebar di 25.825 tempat pemungutan suara (TPS) di 2.640 desa/kelurahan, 229 kecamatan, dan 15 kabupaten dan kota.

Jumlah DPT 6.539.128 jiwa tersebut terdiri dari pemilih laki-laki sebanyak 3.326.334 jiwa dan perempuan 3.212.794 jiwa. Diantaranya, generasi baby boomer usia 56-76 tahun sebanyak 1.145.273 jiwa atau 17,51 persen, dan generasi milenial (usia 25-39 tahun) mencapai 32,02 persen.

Sementara komposisi generasi lainnya adalah; generasi X atau pemilih yang berusia 40-55 tahun sebanyak 1.980.330 jiwa atau 30,28 persen, lalu generasi Z berusia 17-24 tahun sebanyak 1.174.188 atau 17,96 persen, pemilih lanjut usia atau lansia berumur kurang lebih 76 tahun sebanyak 145.210 atau 2.22 persen, dan pemilih pemula dengan usia di bawah 20 tahun sebanyak 576.128 atau 8.81 persen dari DPT Provinsi Lampung Pemilu 2024.

Data komposisi DPT di atas bisa menjadi landasan bekal bagi kedua calon pilgub untuk merumuskan visi, misi, strategi hingga program, yang ditransmisi kepada para pemilih, sebagai isu penting guna mempengaruhi benak masing-masing kohort generasi, dalam memutuskan hak elektoralnya.

Problem ‘Doom Spending’
Jika meninjau komposisi di atas, maka kelompok kalangan milenial anak-anak muda, yang terdiri dari generasi Y, Z dan pemilih pemula berjumlah 58,79%, sedangkan kelompok baby boomers dan usia lanjut hanya sejumlah 19,71% saja. Di sisi lain generasi X sejumlah 30,28%. khusus generasi X ini tentu akan terbelah kepribadiannya. Diasumsikan sebagian masih bersifat generasi milenial di bawahnya dan sebagian lain terpengaruh dengan sikap hidup generasi baby boomers.

Dengan demikian dapat disimpulkan rerata sekitar 70% pemilih lampung adalah variasi kohort pemilih muda. Ini artinya bagi para kandidat pilgub, seandainya memahami aspirasi kalangan muda, dalam bentuk program kerja yang memberi kesempatan dan peluang para anak-anak muda, untuk berkembang di masa depan, maka tak pelak insentif elektoral akan berpihak kepada kandisat yang aspiratif di kelompok kohort ini.

Sebagai gambaran, terdapat problem kalangan Generasi Z dan milenial saat ini, diperkirakan anak-anak muda sekarang akan menjadi lebih miskin dibandingkan generasi sebelumnya, akibat tren ‘doom spending’ atau pengeluaran yang tidak masuk akal. (CNN Indonesia, 25 Sep 2024).

Menurut Psychology Today, doom spending terjadi ketika seseorang berbelanja tanpa berpikir untuk menenangkan diri karena merasa pesimis terhadap ekonomi dan masa depan mereka. Dosen senior keuangan di King’s Business School Ylva Baeckström mengatakan praktik ini tidak sehat dan fatalistis.

Jika ditelaah, kecenderungan ‘doom spending’ ini, yang mungkin saja terjadi di Lampung, sesungguhnya peluang bagi peserta pilgub untuk merancang celah program yang bersifat ekonomistic, antisipasi atas masalah ekonomi kalangan milenial, dengan program-program tertentu, yang memberi pemecahan masalah problem ekonomi kalangan muda, maka dapat diprediksi, akan merebut simpati dari kalangan muda, yang saat ini cukup mendominasi DPT Lampung.

Milenials vs Baby Boomers
Dari analisa di atas, dapat diprediksi, atas dasar komposisi DPT dengan pendekatan sosiologis, demografis dan segmentasi generasi, maka dapat diramalkan pasangan milenials, Mirza-Jihan, kemungkinan lebih mudah memperoleh insentif elektoral terbesar kalangan muda, memenangkan pertarungan dengan berpegang pada isu-isu kohort, karena sesuai dengan generasinya.

Mirza dan Jihan, dengan eksistensi usia muda saat pencalonan pilgub Lampung kali ini, termasuk dalam kalangan milenial, berpeluang menarik simpati generasi milenial, Y, Z, bahkan sebagian generasi X untuk memetik insentif elektoral. Dari gestur tubuh muda yang lincah, dan dibekali latar belakang pengalaman politik, setidaknya memberi harapan bagi kalangan muda untuk memilih pasangan ini.

Sementara itu, pasangan nomor urut 1, Arinal-Sutono, yang berada dalam segmen generasi baby boomers, peluang meraih suara sesama baby boomers dan lanjut usia tentu lebih tinggi dibanding nomor urut 2 (Mirza-Jihan). Kalangan senior tentu mempertimbangkan faktor pengalaman, usia, dan wisdom dari seorang calon kepala daerah yang dianggap dimiliki Arinal dan Sutono. Namun memang, secara persentase kalang senior ini hanya berjumlah sekitar 20 – 25% saja dari DPT Lampung. Dibutuhkan kerja keras timses Arinal-Sutono untuk meluaskan simpati di luar kohort baby boomers dan lanjut usia.

Maka oleh karenanya, untuk pasangan Arinal-Sutono, perlu melakukan re-branding visi, misi, strategi dan program yang berpihak kepada kalangan muda. Kebutuhan kohort muda saat ini, adalah menyangkut kesempatan kerja, peluang berusaha, pendidikan murah, permodalan umkm milenial, kemudahan mengakses digitalisasi, kegesitan birokrasi pemerintah, pembangunan teknologi AI di segenap sektor yang tentu disukai para milenial. Jika ini dilakukan oleh Arinal dan Sutono, kemungkinan pemilih kohort milenial, generasi Y dan Z bisa saja berpihak kepada pasangan ini.

Sementara bagi pasangan Mirza dan Jihan, alangkah baik jika dapat mengakomodir aspirasi kalangan senior (baby boomers dan lanjut usia), seperti; akses pendidikan yang murah dan berkualitas bagi putra/putri kalangan senior, pemberian insentif masa tua, program pensiun yang cukup, akses layanan kesehatan yang cepat dan mudah, obat-obatan yang murah dan berkualitas, bahan pangan yang terjaga harga, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan eksistensi kalangan senior.

Figur Politik dan Pilkada
Selain hal-hal yang bersifat kohort (generasi) di atas, terdapat parameter lain yang dapat dijadikan peluang insentif elektoral bagi kedua pasangan pilgub lampung ini, yaitu eksistensi figur-figur politik Lampung yang cukup memiliki pengaruh di tengah masyatakat, terutama yang pernah dan berkeinginan maju dalam kompetisi pilgub Lampung.

Terdapat kekecewaan dari sebagian pemilih Lampung atas ketidak-ikutsertaan tokoh-tokoh politik dalam pilgub kali ini, yaitu figur; Herman HN, Umar Ahmad, Ridho Ficardo dan Ahmad Muslimin. Keempat tokoh ini memiliki pengikut yang cukup militan. Persoalannya bagaimana para calon dapat melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh ini untuk menjadi tim sukses atau sekedar dukungan sebagai influencer para pengikutnya.

Mirza dan Jihan sudah melangkah lebih ke depan, dengan merebut simpati Herman HN yang mantan Walikota Bandarlampung dan dua kali pernah ‘Nyagub’. Herman HN diketahui telagmh mempublikasi dukungan secara tegas, kepada pasangan nomor urut 2 (Mirza-Jihan). Kemungkinan besar Herman HN dapat mengawal dan mengarahkan pengikutnya untuk mendukung Mirza-Jihan.

Di samping itu, Arinal-Sutono juga telah mendapat keputusan partai yang menjadikan Umar Ahmad sebagai Ketua Tim Pemenangan. Tentunya sangat bermanfaat, tidak hanya para simpatisan Umar Ahmad, tetapi juga masyarakat Lampung yang memiliki harapan padanya sebagai gubernur, namun terhenti karena PDIP mengalihkan rekomendasi pilgub kepada Arinal-Sutono. Dengan ditunjuk sebagai Ketua Timses, aspirasi pengikut Umar Ahmad dapat dipindahkan kepada pasangan Arinal-Sutono.

Sementara itu, figur Ridho Ficardo dan Ahmad Muslimin, diketahui masih belum menentukan atau mempublikasi secara tegas orientasi keberpihakannya, kepada salah satu pasangan calon. Oleh karenanya diperlukan kemampuan tim kedua pasangan, melobi, mendekati dan meraih simpati dari kedua tokoh di atas, dalam upaya memburu insentif elektoral yang lebih tinggi dan maksimal dari pendukung Ridho Ficardo dan Ahmad Muslimin.

Pragmatisme vs Rasionalitas
Pada bagian lain, memang tidak cukup hanya mengandalkan peluang kohort (generasi) dan keberpihakan figur-figur politik saja. Ada dua faktor lain yang mempengaruhi kuantitas perolehan suara saat pemilihan nanti, yaitu variabel gizi pemenangan dan rasionalitas pemilih.

Gizi pemenangan tidak lain definisi yang menunjuk pada kemampuan menggerakkan tim-tim sukses melalui kemampuan pembiayaan yang tidak sedikit. Komposisi pembiayaan pemenangan ini selain tidak sedikit juga cukup kompleks, tergantung variasi program dan strategi pemenangan. Salah satunya, bisa saja komponen pragmatisme politik transaksional, dimasukkan sebagai setrategi kepada pemilih, meski secara hukum dan aturan dilarang.

Kemampuan secara finansial membiayai pemenangan adalah faktor utama, sehingga strategi pemenangan dapat berlangsung mulus di lapangan. Jika faktor gizi pemenangan ini kurang, maka dapat dipastikan kandidat tidak akan memperoleh insentif elektoral yang optimum.

Kita coba amati, salah satu perusahaan konglomerasi Lampung yang biasanya terlibat dalam aktivitas pemenangan pilgub dan memompa finansial pemenangan, kelihatannya belum terlihat memihak secara terbuka kepada salah satu kandidat. Jika ini benar, artinya pembiayaan pemenangan para kandidat masih ditanggung secara mandiri. Berbeda pada dua periode pilgub lalu, perusahaan konglomerasi ini ikut bermain, mengeluarkan daya finansial dalam pemenangan salah satu kandidat, sehingga mampu memenangkan pertarungan pilgub.

Jika pihak-pihak luar kandidat tidak melakukan sokongan pembiayaan pada kandidat pilgub, maka secara natural proses demokrasi pilkada Lampung, akan berlangsung cukup netral, dengan demikian akan mengurangi intensitas politik transaksional di tengah masyarakat pemilih, sehingga berefek pada kemampuan rakyat pemilih untuk bersikap rasional dalam menentukan pilihannya.

Hipotesisnya, sikap rasionalitas pemilih akan meningkat manakala derajat politik transaksional berkurang, apalagi jika politik transaksional tidak ada sama sekali, meskipun itu mustahil. Setidaknya sikap rasionalitas ini akan mendorong pemilih untuk mengamati dan menilai secara objektif, terhadap program-program para kandidat pilgub, yang berkait dengan hajat hidup rakyat ke depan.

Kesimpulan
Oleh karenanya, keunggulan isu yang dituangkan dalam bentuk visi, misi, strategi dan program akan menjadi acuan pemilih dalam menentukan pilihannya nanti. Kembali kepada isu, maka faktor kohort, generasi, sosiologis dan demografis wajib menjadi acuan visi, misi, strategi dan program kerja untuk menjanjikan pembangunan Lampung 5 tahun ke depan.

Pendekatan kohort atau generasi dalam kelompok usia tertentu, setidaknya akan memberi nilai tambah, terhadap perolehan insentif elektoral para kandidat pilgub Lampung. Bagi kandidat yang mampu mentransmisi aspirasi kohort, dalam bentuk program yang sesuai kebutuhan generasi, maka dapat dipastikan akan memenangkan pertarungan. Wawllahu a’lam. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *