Dr. Wendy Melfa
Akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL)
Peneliti pada Ruang Demokrasi (RuDem)
DEMOKRASI YANG BERGERAK
Meskipun keserentakan penyelenggaraan Pilkada merupakan keinginan sejak lama sebagaimana tertuang pada UU 1/2015 sebagaimana disempurnakan menjadi UU 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada), namun implementasi kebijakan sebagaimana dinyatakan UU tersebut yang digelar tahun 2024 saat ini masih saja terasa begitu “pendek” waktu persiapan pelaksanaan, dan “rasa” itu semakin nampak manakala muncul kebijakan-kebijakan baru yang embrio-nya berasal dari putusan Pengadilan (MK) sebagai “terobosan” hukum yang tentu saja berimplikasi pada turunan peraturannya (teori: law as a tool of social engineering) , maupun berasal dari fenomena dan proses politik yang dapat dikatagorikan sebagai ‘terobosan” (temuan) politik yang selanjutnya materi tersebut menjadi narasi untuk hadirnya sebuah aturan (hukum) baru (teori: hukum merupakan resultante proses/ kehendak politik), akumulasi dari dinamika keduanya menjadi sebuah “ramuan” pergerakan demokrasi yang lebih baik untuk kemajuan dan perkembangan demokrasi, sehingga demokrasi itu dapat dirasakan hidup dan terus bergerak.
Pergerakan demokrasi Indonesia dalam lapangan pemilihan umum (Pemilu) khususnya Pilkada tentu memberi warna dan makna baru bagi demokrasi yang bisa dirasakan kegunaannya bagi rakyat sebagai pemilik “saham” terbesar sebagai pemegang kedaulatan rakyat disamping Partai Politik serta entitas-entitas demokrasi lainya. Pada tulisan kali ini akan dimunculkan dua issue menarik, yaitu hadirnya Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang: Ambang Batas pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, putusan mana hadir ditengah-tengah kita manakala tahapan pencalonan “nyaris” berakhir dimasa tahapan Pilkada yang sudah ditentukan oleh KPU hingga “sempat” dinamikanya memicu guncangan demokrasi utamanya pada lembaga Parlemen kita. Issue yang kedua akan coba dinarasikan pada tulisan ini, berkaitan dengan hadirnya “fenomena” kotak kosong pada Pilkada serentak 2024.
BERUBAHNYA AMBANG BATAS
Saat injury time tahapan pencalonan oleh Partai Politik peserta Pemilu 2004, dan jelang tahapan masa pendaftaran pasangan calon yang diusung oleh Parpol dan gabungan Parpol 27 – 29 Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya yang fenomenal dikenal dengan Putusan Nomor 60 yang pada intinya memutuskan: Partai Politik peserta Pemilu yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, dengan memberikan syarat untuk mengusulkan pasangan calon hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik dalam Pemilu di daerah bersangkutan mulai dari 6,5 hingga 10 persen (disesuaikan dengan skala jumlah pemilih daerah bersangkutan). Putusan tersebut berasal dari pokok perkara Pengujian Materiil Undang-Undang 10/2016 tentang Perubahan UU 1/2015 tentang Perpu Nomor 1/ 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Sontak saja terbitnya putusan ini mengubah wajah demokrasi Indonesia dimana secara jelas dan tidak perlu diterjemahkan lain telah memberikan angin segar pada Parpol-Parpol non Parlemen (begitu biasa disebut bagi Parpol yang tidak memperoleh kursi DPRD), meskipun sempat mendapatkan rencana siasat dan “penolakan” dari partai-partai yang duduk di Parlemen, dengan dalih bawah ketentuan putusan MK tersebut hanya berlaku untuk Parol di luar Parlemen dengan mencoba menggelar sidang-sidang DPR RI dengan agenda mengubah bunyi UU 10/2016. Hal ini yang memicu gelombang unjuk rasa di berbagai kota, dan yang cukup besar di depan gedung DPR RI, hingga akhirnya sidang paripurna dengan agenda pengesahan perubahan UU Pilkada tersebut dibatalkan.
Pengujian UU melalui MK yang diajukan oleh Partai Gelora dan Partai Buruh tersebut, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi yang sifat putusannya final and binding telah membuat “terobosan” hukum untuk memberikan kesempatan yang sama kepada Parpol peserta Pemilu untuk juga dapat mengajukan pasangan calon Kepela Daerah untuk mengikuti kontestasi pada Pilkada serentak 2024 dengan syarat jumlah suara sah tertentu, hingga berakibat hukum bukan saja dapat menghadirkan lebih banyak pasangan calon Kepala Daerah, tetapi juga dapat “menekan” munculnya kemungkinan fenomena “kotak kosong” sebagai akibat “terkumpulnya” sejumlah dukungan Parpol (Parlemen) hanya pada satu kekuatan politik atau pada satu pasangan calon Kepala Daerah saja, namun lebih jauh daripada itu, atmosfer teknokrasi, keadilan politik, serta keinginan menegaskan eksistensi Parpol sebagai pilar demokrasi dari Partai Gelora dan Partai Buruh yang dikatagorikan sebagai Partai kecil (gurem, kurang/ tidak punya kursi di DPRD) telah mendorong hadirnya ruang untuk tampilnya banyak alternatif pilihan rakyat pada kontestasi Pilkada serentak 2024, bahkan juga telah mendorong penguatan sistem pemerintahan Presidensial, dimana pemilihan Kepala Daerah yang akan menghasilkan kepala pemerintahan daerah sebagai turunan fungsi eksekutif dari Presiden sebagai Kepala Pemerintahan Negara, pemilihannya diikuti oleh pasangan calon yang diajukan oleh Parpol atau Gabungan Parpol tanpa adanya syarat ambang batas (parlimentary threshold: 20 persen), dan ini dapat sebagai pintu gerbang menuju berkurang atau bahkan hapusnya persyaratan presidential threshold pada Pilpres yang akan datang. Melalui momentum ini, kembali kita diingatkan bukan pada besar atau kecilnya sebuah Parpol, tapi bagaimana eksistensinya sebagai pilar demokrasi, Parpol dapat melakukan langkah-langkah dan menghadirkan kemajuan demokrasi, makanya jangan pernah pandang sebelah mata Parpol, meskipun mereka belum beruntung mempunyai kursi pada lembaga Parlemen. (*)