Oleh. Dr. H. Andi Surya
Akademisi UMITRA, Bandar Lampung
Angin musim panas di sebagian wilayah Indonesia menyapu daratan, matahari siang seolah tak henti redup, ciptakan suasana hangat, bahkan sebagian kepanasan di ruang-ruang tanpa kendali temperatur. Tak hanya hangatkan suasana, namun Sang Mentari itu, dalam kedigjayaannya, mampu membakar proses demokrasi, khususnya pilkada, mencapai titik didih tinggi tensi politik, yang sedang berlangsung saat ini di NKRI.
Hangatnya demokrasi Indonesia saat ini, bukan hanya karena pegesekan normal aktifitas partai-partai politik, di akhir masa pendaftaran pilkada, tapi ditemukan kecenderungan perilaku anomali partai politik, dalam menentukan keputusan mendukung jagoan di masing-masing daerah, baik gubernur, bupati dan walikota untuk pilkada yang sebentar lagi dinikmati masyarakat Indonesia.
Platform Parpol
Salah satu fondasi parpol adalah platform partai, yang dikonsep oleh para pendirinya, tentu berisi visi misi, dituangkan dalam bentuk tertulis, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Platform partai adalah infrastruktur dasar partai untuk bergerak, membentuk dan mempengaruhi secara filosofis ideologis kader, anggota dan seluruh konstituennya.
Maka sudah tentu, dalam setiap diri kader parpol, berperan menampilkan substansi dari filosofis platform partai di mana dia bernaung. Demikian pula parpol wajib melakukan transformasi nilai dan norma platform partai berupa ideologi, kepada seluruh jaringan organisasi, kader hingga konstituen maupun masyarakat umum, untuk memahami bentuk-bentuk perjuangan yang dilakukan parpol, sehingga dengan demikian akan terdapat kader-kader parpol yang loyal dan fanatik.
Kader Parpol
Partai politik sesuai platform yang dikonstruksi, berupaya menciptakan kader-kader militan, yang mampu perjuangkan visi misi di tengah masyarakatnya. Mereka merupakan infrastruktur partai yang bekerja, bukan hanya mengenalkan, tetapi juga mentransformasi pikiran dan program partai, kepada masyarakat dan konstituen, sehingga terbentuk landasan filosofis, bahkan ideologi partai di tengah masyarakat. Diharapkan anggota masyarakat berubah menjadi konstituen loyal, bahkan terpengaruh untuk masuk menjadi anggota parpol.
Menciptakan kader-kader kuat secara filosofis dan ideologis bukan perkara mudah. Perlu waktu, pelatihan dan pembiasaan berkepanjangan dalam bentuk program-program partai, sehingga tercipta internalisasi nilai dan norma platform partai dalam diri setiap kader. Di beberapa parpol, terdapat aktifitas sekolah-sekolah kepemimpinan parpol, yang ditujukan khusus untuk menginternalisasi dan memperkuat nilai dan norma ideologi parpol dalam kerangka berpikir dan bertindak kadernya.
Kepemimpinan Partai
Pada bagian lain, parpol diciptakan bukan sekedar alat untuk mendapatkan suara rakyat, lebih dari itu adalah mendistribusi pikiran-pikiran untuk membangun sebuah konsep, bagaimana menjaga folosofi dan ideologi partai di tengah8 konstituennya, melalui penciptaan kader-kader loyal partai, yang nantinya diarahkan menjadi pemimpin-pemimpin di tengah masyarakat, baik secara nasional maupun daerah.
Instrumen penting dalam perebutan kepemimpinan masyarakat sekaligus pengaruh parpol di Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi, adalah pemilihan presiden dan wakil presiden secara nasional, sementara di wilayah terdapat mekanisme pemilihan kepala daerah, baik gubernur, walikota maupun kabupaten.
Namun apa yang terjadi dengan perilaku dan kepemimpinan partai politik, dalam polarisasi dukungan terhadap kader-kader partai di tengah kontestasi pilkada? Dapat diamati, sebagian terjadi inkonsistensi dukungan, alias ketidaksinkronan antara harapan kader dengan kebijakan dukungan partai, yang diterbitkan dalam bentuk surat relomendasi calon kepala daerah. Fakta terjadi, partai A mendukung kader partaI B, partai C mendukung kader partai D, dan seterusnya.
Inskonsistensi
Di Jakarta, sebagai salah satu barometer perilaku parpol terkait dukungan pilkada, Kita lihat, koalisi KIM plus yang mengusung Ridwan Kamil – Suswono, terdapat 9 partai pendukung yaitu; Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PBB, Partai Gelora, Partai Garuda, PSI, dan Partai Prima. Ini koalisi gemuk.
Padahal jika berlandas keputusan MK no; 60/PUU-XXII/2024, yang menurunkan ambang batas pencalonan atas dasar suara partai, dari 20% menjadi hanya 7,5% saja, maka dari koalisi sembilan partai ini, sesungguhnya dapat dipecah menjadi setidaknya 3 blok koalisi calon pilkada, misal; pertama, Golkar dan PKS (RK/Sus), kedua, koalisi Gerindra dan PBB, ketiga, koalisi PAN dengan partai-partai kecil lainnya.
Dengan turunnya ambang batas untuk koalisi parpol dalam pilkada, khususnya di Jakarta, setidaknya akan terdapat paling sedikit 4 koalisi yang mendukung 4 pasangan calon termasuk PDIP. Namun yang terjadi saat ini hanya dua calon saja. Bahkan nyaris hanya satu calon tunggal, lawan kotak kosong, jika saja Keputusan MK berhasil dianulir DPR RI, dengan upaya perubahan UU Pilkada sebelum diprores rakyat se-Indonesia.
Contoh pilkada di Jakarta ini juga menular di beberapa wilayah Indonesia lainnya, seperti: Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan lain sebagainya, yang pencalon pilkada bahkan nyaris terjadi hanya satu calon tunggal lawan kotak kosong.
Kecewa
Implikasi dari semua itu adalah, terdapat ketidakkonsistenan partai politik dalam mendukung calon-calon kontestan pilkada. Ada banyak kader-kader terbaik partai, yang telah berjuang untuk partai tetapi terabaikan, tidak didukung menjadi kepala daerah. Bahkan partai politik mendukung kader partai lain. Ini menimbulkan kekecewaan kader, bukan hanya yang ingin mencalon tapi juga kader-kader pendukungnya. Pertanyaannya, gejala apakah ini?
Di Banten, sebelum pergantian Ketua Umum Golkar dari Airlangga ke Bahlil Lahadalia, Airin Rachmi Diany yang merupakan kader Golkar bahkan berjasa berjuang untuk kemenangan pilpres yang diusung KIM, dibuang begitu saja, oleh Golkar tidak dicalonkan sebagai calon gubernur Banten. Airin lalu berlabuh di PDIP, berpasangan dengan salah satu kader PDIP di pilkada Banten.
Untung saja, Golkar segera menyadari, setelah pergantian ketua umum, berbalik arah dukungan dari koalisi KIM Plus mendukung Airin dan Ade Sumardi. Namun peristiwa ini terlanjur menjadi catatan kader, bahkan mungkin terdapat luka berbekas di dalamnya, ibarat air ludah dijilat kembali.
Di Lampung, hingga tulisan ini dibuat, petahana Golkar, Arinal Djunaidi, sebagai Gubernur Lampung, yang notabene Ketua Partai Golkar Lampung, tidak didukung oleh partainya. Golkar Lampung mendukung Koalisi KIM Plus yang mengusung RMD Gerindra. Golkar mengamputasi Arinal, entah apa sebabnya. Lebih lanjut, info terbaru, Arinal berlabuh di PDIP berpasangan dengan kader PDIP. Antillimaks baik bagi Golkar, Lampung maupun Arinal sendiri terhadap kenyataan politik pilkada Lampung.
Di bagian lain, bahkan seorang Herman HN, Ketua Partai Nasdem, yang cukup kondang, populer, berelektabilitas cukup baik, dengan prestasi relatif sukses membangun Bandar Lampung saat jadi walikota, tidak didukung sama sekali oleh partai Nasdem. Partai Nasdem mengalihkan dukungan kepada kader Gerindra, RMD.
Di beberapa wilayah lainnya, juga terdapat parpol-parpol yang mengabaikan kader untuk kontestasi dalam pilkada. Padahal jika menilik cita-cita parpol, salah satunya adalah menguasai peta politik daerah, dengan cara menerjunkan kader-kader terbaik parpol, untuk bertarung memenangkan pilkada. Namun banyak partai justru inkonsisten, mendukung kader-kader parpol lain.
Persimpangan Jalan
Dari fakta-fakta di atas, dapat disimpulkan, bahwa perilaku parpol-parpol di Indonesia sebagian membingungkan kadernya sendiri, bahkan juga membingungkan masyarakat dan konstituennya. Mengapa parpol harus mendukung kader lain yang bukan kadernya, padahal jika kembali kepada pemikiran dan filosofis yang terdapat dalam platform partai, sebagai dasar konstruksi konsepsi sebuah partai, maka ideologi partai, sesungguhnya ada dalam diri kader itu sendiri. Kader adalah bentuk nyata dari subjek partai. Seharusnya partai mendukung kader, dalam segenap even kontestasi demokrasi khususnya pilkada.
Ideologi dan filosofi partai yang telah terinstitusionalisasi dalam pikiran, tindakan dan perilaku kader, itu merupakan bangunan platform sebuah partai politik sesungguhnya, sehingga membentuk identitas kuat di tengah masyarakat.
Namun, dalam peristiwa pilkada menjadi anomali, identitas ini justru terabaikan, manakala pada area aktivitas demokrasi politik, misalnya pilkada, tempat di mana berkibarnya panji-panji partai, tidak dimanfaatkan sebesarnya untuk kepentingan partai secara maksimal, dengan mendorong kader-kader terbaik, bertarung dalam kontentasi pilkada.
Kecenderungan ini menyebabkan, banyak-kader berada di persimpangan jalan, menjadi ragu, lalu tidak loyal, bahkan ambigu terhadap kepemimpinan partai. Efeknya adalah loyalitas yang berkurang. Bahkan paling ekstrim, kader-kader partai berhenti menjadi kader. Lalu, berpindah ke partai lain, yang dianggap mampu menerima aspirasinya
Rekomendasi
Barangkali ini menjadi renungan bersama, khsususnya para pemimpin partai, yang diamanahi para kader, untuk memimpin dan menjaga platform partai, agar tidak berubah visi dan misi, sehingga tujuan berpartai, adalah menguasai peta politik melalui pilkada, pileg dan pilpres, melalui kader-kader terbaik, bukan justru mendukung kader partai lainnya, hanya karena kepentingan sesaat, jangka pendek. (*)