Menjemput Harga Saing Hasil Hutan Bukan Kayu Bagi Petani

DEFINISI HUTAN DAN PENGELOLAAN HUTAN LESTARI DI LAMPUNG

Foto Istimewa
Foto Istimewa

Penulis: A. Nizam Syahiib, Popi Tri Astuti, Elza Wahyuni, Christine Wulandari, Samsul Bakri dan Hari Kaskoyo

Program Studi Magister Kehutanan, Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung

banner 300600

 

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Hutan memiliki komponen dan elemen yang penting berdasarkan pengelolaan dan keberlanjutan didalamnya. Berdasarkan SK Menhutbun No.256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000, persentase luas kawasan hutan terhadap luas daratan Provinsi Lampung saat ini adalah 28,45%. Dimana yang kita ketahui berdasarkan fungsinya kawasan hutan terbagi atas hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi. Hampir seluruh kawasan hutan memiliki pola interaksi yang kuat dengan masyarakat sekitar kawasan hutan. Perkembangan pengelolaan kehutanan bersifat dinamis seiring waktu. Dahulu perkembangan pengelolaan hutan dilakukan dengan sistem timber extraction, lalu sempat berubah menjadi system timber management, yang saat ini kita mengimplementasikan sistem social forestry.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Rehabilitas Lahan dan Perhutanan Sosial, menunjukkan bahwa sekitar 10,2 dari 48,8 juta orang sangat bergantung dengan sumber daya alam. Saat ini, pemerintah telah memberikan suatu kebijakan kepada masyarakat untuk mengatasi permasalahan hak akses dan hak kelola terhadap kawasan hutan yaitu adanya skema Perhutanan Sosial. Skema ini sangat membantu masyarakat dalam pemberdayaan dan peningkatan taraf hidup masyarakat atau petani sekaligus melestarikan hutan.

 

PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL DAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU

Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi perintis skema Perhutanan Sosial izin pengelolaan pada skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) sejak tahun 1995, dimana sampai tahun 2004 terdapat kurang lebih 100 izin yang diberikan pada izin Kelola HKm tersebut. Pemberian izin merupakan salah satu upaya resolusi konflik antara masyarakat atau petani terhadap pihak pengelola. Sehingga, masyarakat diberikan kesempatan kesempatan atas hak kelola dan pemanfaatan dimana hasil kelola tersebut dapat dimanfaatkan langsung oleh masyarakat.

Izin perhutanan sosial ini diberikan kepada beberapa UPTD kesatuan pengelola hutan (KPH) di Provinsi Lampung. Terdapat 17 UPTD yang diberikan hak izin, salah satunya KPHL Pesawaran. Berdasarkan nomor izin 522/774/V.24/B.IV/2022, sebanyak 24 yang terdiri atas Gapoktan dan KTH yang mengajukan dan mendapatkan izin Kelola di KPHL Pesawaran. Tiga fungsi utama rencana kegiatan PS di PKHL Pesawaran, yaitu penguatan kelembagaan, rencana pemanfaatan hutan, dan sebagai pengembangan usaha/pemasaran. Rencana pemanfaat hutan berupa pemanfaatan dan pemungutan HHBK. Adapun komoditi yang dikelola petani pada lahan izin yaitu komoditi pala, pinang, dan kemiri. Data harga komoditi saat ini pada komoditas pertanian di KPHL Pesawaran yaitu pala dengan harga 30.000/Kg, pinang dengan harga 8.000/Kg, dan kemiri dengan harga 6.000/Kg. Harga ini masih sangat rendah dibandingkan dengan kondisi pasar saat ini. Dimana didaerah luar Lampung, harga pala bisa mencapai 70.000/Kg, harga pinang mencapai 30.000/Kg, dan harga kemiri mencapai harga 20.000/Kg. Seharusnya, komoditas ini memiliki peluang pasar yang bagus, misalnya dapat berpeluang akan potensi ekspor yang tinggi dan beberapa komoditas tersebut dapat dijadikan beberapa produk seperti kerajinan, produk kesehatan lainnya, dan kebutuhan pangan.

 

PENTINGNYA MENJEMPUT HARGA SAING HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Dalam pengelolaannya tidak terdapat kendala yang berarti, namun saat ini kendala utama pada KPHL Pesawaran yaitu masalah dalam pemasaran. Pontensi akan HHBK ini per komoditas belum termeratakan dengan baik. Industri pengolahan HHBK yang sudah ada kurang mendapat (minim) informasi tentang permintaan pasar. Disisi lain harga di tingkat petani relatif rendah. Saat ini petani sudah mulai mencoba menjual hasil kelola ke beberapa tengkulak dan melalui media online. Melalui upaya ini pendapatan petani bisa meningkat 6% apabila dilakukan secara optimal (Septiadi dan Nursan, 2020). Dalam pengembangan dan peningkatan budidaya komoditi HHBK diperlukannya peluang usaha yang bernilai ekonomis yang mampu menyesuaikan kemampuan pembiayaan dari petani. Hal tersebut juga beriringan dengan permintaan pasar dan adanya kenaikan harga jual yang berfluktuasi.

Untuk mengatasi permasalahan utama petani tersebut, diperlukan beberapa upaya atau regulasi untuk mengantisipasinya. Untuk menjamin kualitas dan kuantitas ketersediaan HHBK dalam proses industri diperlukan penyesuaian terhadap permintaan pasar. Hal ini diperlukan keseriusan dan kesediaan para petani tidak hanya berfokus pada pengelolaan dan produksinya melainkan fokus pada pemasaran juga. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan upaya industri HHBK yaitu bantuan teknologi yang lebih efisien, pengembangan produk dan penguatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) melalui pelatihan-pelatihan, informasi pasar yang berkesimbungan, dan menciptakan iklim usaha yang kondusif. Selain itu juga perlu dilakukan adanya promosi terhadap produk-produk HHBK baik di dalam maupun luar negeri agar dapat menarik investasi dan konsumen.

Tentu saja hal ini akan dapat bermanfaat dan menguntungkan bagi petani, pihak pengelola, dan terhadap instansi tersebut. Untuk mendukung hal tersebut, tidak hanya petani saja yang menjadi aktor utama, keterlibatan berbagai pihak/stakeholder dapat membantu dalam kegiatan seperti pelatihan dan penyuluhan. Bila hal ini dapat terjadi yaitu terjualnya komoditi yang langsung dari petani secara mandiri maka dapat meningkatkan kesejahteraan petani karena pendapatan bisa meningkat hingga 17% dari pendapatan yang biasa diterima (Aji dan Soejono, 2021). Program fasilitasi atau pendampingan petani dalam pemasaran atau menjemput harga adalah hal penting karena saat ini pemerintah akan mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.64/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017  yang isinya menyatakan bahwa meningkatnya jumlah produksi akan meningkatkan kewajiban petani untuk membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) ke negara sebagai sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). (rls/Iis)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *