Fenomena Pemilu dan Ganjarian

Wendy Melfa

Pengasuh Ruang Demokrasi (RuDem)

Sahabat Segubal Lampung

 

Pengantar

Awal tahun 2022 ini, tepatnya 24 Januari 2022 Pemerintah dan Komisi II DPR RI bersama-sama dengan KPU RI, Bawaslu RI serta DKPP RI selaku institusi yang mendapatkan amanah dan pendelegasian kedaulatan rakyat dan undang-undang telah menyepakati waktu pelaksanaan pemungutan suara untuk Pemilu serentak tahun 2024 yang akan datang. Penetapan waktu tersebut tanggal 14 Februari 2024 untuk pelaksanaan pemungutan suara Pemilu serentak guna memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD sebagaimana diamanatkan UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan tanggal 27 November 2024 untuk pelaksanaan pemungutan suara Pemilu serentak guna memilih Gubernur, Bupati dan Walikota sebagaimana diamanatkan UU 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

 

Penetapan waktu Pemilu serentak tersebut suatu keharusan dalam praktik ketatanegaraan kita mengingat tahapan program dan jadwal Pemilu serentak 2024 tersebut sudah akan dimulai bulan Juni 2022, karena memang demikian rangkaian tahapan sebuah Pemilu yang akan dinyatakan selesai sampai dilantik dan disahkannya orang-orang  yang terpilih sebagai anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPRD hasil Pemilu Nasional dan Gubernur, Bupati dan Walikota hasil Pemilu Daerah yang pelaksanaannya dilakukan secara serentak.

 

Pemilu 2024 akan menjadi Pemilu serentak pertama dalam sejarah Pemilu dan ketatanegaraan Indonesia yang membagi cluster Pemilu Nasional (DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD) dan Pemilu Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) serentak se-Indonesia, meskipun masih terdapat diskusi panjang tentang waktu pelaksanaan pemungutan suara untuk memilih anggota DPRD ke depan akan tetap dalam cluster Pemilu Nasional atau Pemilu Daerah, karena adanya perbedaan persepsi antara kategorisasi rezim Pemilu dan rezim Pemerintah Daerah, meskipun secara teknis pelaksanaan pemilihan umum serta lembaga penyelenggara pemilu sebagaimana amanat undang-undang tidak ada perbedaan antara Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, namun disisi lain secara tegas dinyatakan bahwa DPRD adalah unsur penyelenggara Pemerintah Daerah. Meskipun secara substansi masih akan ada diskusi panjang untuk itu, namun untuk Pemilu serentak 2024, untuk memilih anggota DPRD masih masuk dalam cluster Pemilu Nasional, dan untuk men-serentak-an Pemilu Daerah pada tahun 2024 tidak lagi dilaksanakan Pilkada untuk memilih Kepala Daerah yang akhir masa jabatannya berakhir sebelum tahun 2024, dan untuk mengisi kekosongan jabatannya akan ditunjuk Pejabat Kepala Daerah sampai terpilihnya Kepala Daerah hasil Pemilu Daerah tahun 2024.

 

Fenomena Pemilu 2024

Sejak perubahan UUD 1945 pasaca reformasi, Pemilu tahun 2024 yang akan datang adalah Pemilu pertama yang akan dilaksanakan tanpa ditandai oleh perubahan undang-undang bidang Politik, dengan kata lain pelaksanaan Pemilu 2024 akan tetap merujuk dan berlandaskan pada UU dibidang Politik yang sama dengan Pemilu 2019 yang lalu, dan mengingat waktu pelaksanaan pemungutan suara Pemilu 2024 tidak terdapat lagi ruang dan waktu yang patut menurut mekanisme ketatanegaraan kita untuk melakukan perubahan undang-undang tersebut, kecuali dimungkinkan oleh hukum dan ketatanegaraan kita atas dasar alasan mendesak, semisal diterbitkannya Perpu atas dasar kepentingan yang memaksa dan atau karena ada putusan badan peradilan yang bersifat final and binding (Mahkamah Konstitusi).

 

Secara substansi dan teori ketatanegaraan, pemungutan suara serentak Pemilu untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden adalah konsekuensi dari penerapan sistem pemerintahan Presidensial yang kita sepakati dimana terdapat kesetaraan lembaga-lembaga tinggi negara dengan prinsip check and balances antar lembaga-lembaga tinggi negara dalam menjalankan fungsi, wewenang dan tanggung jawabnya. Lembaga tinggi negara yang menjalankan fungsi eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) dan yang menjalankan fungsi legislatif (DPR) tidak bisa saling menjatuhkan/ membubarkan, demikian amanat perubahan UUD 1945.

 

Meskipun dalam UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu (yang juga akan menjadi landasan Pemilu 2024) terdapat adanya ketentuan Presidential Threshold (ambang batas bagi Partai Politik atau gabungan Partai Politik untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden) sebesar 20 % kursi DPR atau memperoleh 25 % dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya, namun esensi ketentuan tersebut menjadi kehilangan makna mengingat waktu pelaksanaan pemungutan suara memilih anggota DPR dan Presiden serta Wakil Presiden dilaksanakan serentak dalam satu waktu, lantas bila menggunakan diksi “suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya” sangat terang dan jelas suasana kebatinan, situasi politik maupun dinamika politik bangsa ini sudah berbeda antara Pemilu 2019 dengan Pemilu 2024 yang akan datang. Banyak negara di dunia yang menganut sistem pemerintahan Presidensial, dalam pelaksanaan pemungutan suara Pemilunya tanpa adanya penerapan syarat Presidential Threshold untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presidennya, semua Partai Politik yang dinyatakan sah sebagai peserta Pemilu, dapat mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden tanpa adanya batasan jumlah perolehan suara atau kursi di DPR, hal inilah yang menjadikan salah satu alasan saat ini sudah ada 12 perkara gugatan pengujian UU tentang adanya ketentuan Presidential Threshold di Mahkamah Konstitusi. Ketentuan tersebut secara hukum dapat berubah melalui Perpu yang dilandasi oleh putusan MK, bila dalam perjalanannya MK memutuskan menghilangkan syarat Presidential Threshold, namun bila tanpa itu maka ketentuan tersebut “juga akan” berlaku pada Pemilu 2024.

 

Fenomena Ganjarian

Pemilu serentak 2024 yang di dalamnya termasuk pelaksanaan pemungutan suara untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden membuka ruang kepada putra-putri terbaik bangsa yang mumpuni untuk turut ambil bagian sebagai calon “kontestan” untuk menjadi yang terbaik dan terpilih sebagai pimpinan pemerintahan untuk melanjutkan dan menjalan pemerintahan Indonesia. Fenomena ini bukan hanya pada tataran kesinambungan roda pemerintahan, namun lebih dari itu diharapkan Indonesia dengan semua potensi dan daya dukungnya dapat menjadi sebuah negara yang lebih maju, lebih modern, lebih sejahtera dalam keadilan serta disegani dalam pergaulan dunia internasional. Pencapaian yang ingin diwujudkan itulah yang membuka ruang kepada semua yang berpotensial untuk bisa tampil dan atau ditampilkan oleh publik sebagai representasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan melalui hukum, ketatanegaraan dan sistem politik yang berlaku.

 

Hadirnya sosok Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah yang cukup “memikat” dan fenomenal bukan saja segudang prestasi Jawa Tengah di bawah kepemimpinannya, juga performa dan pengalaman politiknya ikut menyertai hingga ia cukup disukai publik, hingga kehadiran melalui media virtual maupun “off line”, setiap kehadiran sosok Ganjar, selalu menjadi magnet perhatian dan simpati publik semakin hari semakin kuat dirasakan pada denyut kehidupan kalangan elit politik maupun rakyat kebanyakan, dan tidak bisa dipungkiri apalagi dipandang sebelah mata bahwa kehadirannya adalah fenomena di tengah masyarakat Indonesia yang sedang memasuki tahapan Pemilu 2024.

 

Melalui banyak media, fenomena Ganjarian ini juga mulai mendapat “respon” dari elit politik dan atau Partai Politik, baik Partai Politik yang sedang mengelus dan menyiapkan kader internal Parpolnya maupun Parpol yang “belum berterus terang” mempersiapkan kader internalnya untuk tampil pada kontestasi Pilpres 2024 yang akan datang, wajar sebagai konsekuensi Partai Politik yang mempunyai fungsi mengagregasi kepentingan publik dan juga target politik untuk berkuasa.

 

Sistem politik kita mensyaratkan bahwa rekrutmen calon Presiden dan Wakil Presiden adalah melalui Partai Politik peserta Pemilu tahun 2024, dengan atau tanpa syarat Presidential Threshold. Disisi lain, Partai Politik selalu berusaha menjadi Partai yang paling banyak mendapatkan dukungan rakyat dan ingin tampil sebagai pemenang, oleh karenanya dalam kontestasi pemilu Presiden dan Wakil Presiden antara Partai Politik dan sosok calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan dicalonkan menjadi keharusan yang dilandasi kebutuhan untuk saling menjajaki dan saling disimulasikan untuk mendapatkan format politik pencalonan yang terbaik dan bisa tampil memenangkan kontestasi.

 

Ibarat dua sisi koin mata uang, mutualis simbiosis antara Partai Politik dan calon Presiden serta Wakil Presiden mengingat sistem politik yang berlaku mutlak saling membutuhkan untuk sebuah capaian memenangkan kontestasi Pilpres pada Pemilu 2024. Kekuatan Partai Politik sebagai pintu masuk konstestasi Pilpres tidak akan mempunyai arti dalam perspektif kekuasaan dan memenangkan konstestasi bila tidak diikuti oleh figur calon Presiden dan Wakil Presiden yang disukai dan akan didukung oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam Pilpres. Sebaliknya juga demikian halnya bila figur calon yang begitu disukai dan akan didukung oleh rakyat, namun tidak dapat tampil dalam kontestasi Pilpres karena tidak diusung oleh Partai Politik, maka dukungan rakyat itu tidak akan pernah sampai pada hari pemungutan suara pada kontestasi Pilpres, itulah sebuah konsekuensi dari sebuah sistem politik Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. (*)

Exit mobile version