HTML Image as link Qries

PKS Desak PLN Laporkan Ke Publik Hasil Renegosiasi TOP

Anggota DPR RI Mulyanto
Anggota DPR RI Mulyanto

radarcom.id – Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, mendesak PLN menyampaikan perkembangan hasil renegosiasi klausul TOP (take or pay) dengan pihak produsen listrik swasta (IPP) kepada publik.

Hal ini penting agar publik mengetahui karakter kesetiakawanan nasional pengusaha IPP di tengah surplus listrik dan beban keuangan yang dialami BUMN listrik Negara. Selain itu sosialisasi ini perlu dilakukan sebagai upaya menumbuhkan fungsi kontrol publik terhadap kualitas layanan yang ditawarkan.

banner 300600

“Harapan kita IPP mau berbagi beban (sharing the pain) atas kondisi ketenagalistrikan nasional yang tertekan, karena keliru perencanaan, ditambah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini,” kata Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini.

Sebelumnya Mulyanto juga mendesak Pemerintah turun tangan membantu PLN melaksanakan renegosiasi terkait besaran persentase TOP atas pembelian listrik swasta IPP tersebut.

Hal di atas disampaikan Mulyanto dalam Rapat Panja Listrik Komisi VII DPR RI Dengan Dirjen Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM dan Dirut PLN semi virtual di Gedung Nusantara I, sebagai tanggapan atas jawaban Dirut PLN, yang menyatakan tengah melaksanakan renegosiasi terkait klausul TOP dalam perjanjian pembelian listrik (PPA).

Mulyanto mendesak PLN dan Pemerintah melaksanakan renegosiasi terkait klausul TOP dengan pihak IPP di tengah pandemi dan surplus listrik seperti sekarang ini.

Seperti diketahui Menteri Arifin Tasrif dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri ESDM, menyatakan bahwa besarnya surplus listrik itu sudah mencapai 30%. Jauh melebihi batas maksimal cadangan listrik.

Sementara itu, TOP adalah klausul dalam kontrak perjanjian jual-beli listrik (PPA/ power purchase agreement) antara PLN dengan IPP, yang mewajibkan PLN menyerap listrik sebesar prosentase minimal sesuai availability factor (AF) dari kapasitas terpasang. Nilainya dapat mencapai 80% dari kapasitas terpasang pembangkit listrik.

Klausul ini pada prinsipnya adalah insentif untuk mendorong pihak swasta (IPP), agar mereka tertarik berinvestasi di sektor kelistrikan, khususnya bidang pembangkitan. Sekaligus merupakan jaminan, agar listrik yang dihasilkan mereka akan dibeli oleh PLN. Kebijakan ini cukup tepat di saat kita kekurangan pasokan listrik dan kemampuan modal Pemerintah untuk investasi di bidang pembangkitan masih lemah.

Namun dalam kondisi sekarang, dimana surplus listrik sudah sedemikian tinggi dan keuangan PLN yang tertekan utang mencapai 500 T Rupiah, klausul TOP ini menjadi sangat memberatkan. Karena PLN terpaksa harus membeli dan membayar listrik yang tidak dibutuhkannya. Akhirnya klausul ini membengkakan besaran subsidi listrik serta suntikan dana kompensasi dari Pemerintah.

Karenanya sudah selayaknya Pemerintah turun tangan membantu PLN melakukan renegosiasi atau meninjau ulang terkait besaran prosentase TOP dengan pihak IPP. Misalnya penurunan TOP sebesar 20% hingga 30% dari kontrak PPA, selama masa pandemi, kemudian dikembalikan saat kondisi sudah normal dan pertumbuhan permintaan listrik meningkat sesuai perencanaan. (rls/Iis)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *