“Dehumanisasi”

Catatan : Apriyan Sucipto, SH MH

(Pemerhati Masalah Sosial)

banner 300600

Hidup selalu mengajarkan soal kompetisi, menang kalah. Ketika ditanya “prestasimu apa saja?” yang ada di kepala, prestasi selalu dimaknai dengan sejauh apa seseorang bisa ‘mengalahkan orang lain, mengungguli orang lain, menjadi yang terbaik/juara”.

Seperti itulah, tentang menang kalah. Padahal prestasi itu sendiri adalah proses perkembangan seseorang menjadi lebih baik, ketika seseorang mampu dengan serius dan tekun mengejarkan aktivitasnya. itulah prestasi, asal kita tekun, fokus, dan serius.

Hal itu ternyata sudah diterapkan sejak kita kanak-kanak. Sejak kecil selalu ada bintang kelas, murid yang terbaik. Juara-juara dalam setiap perlombaan. Seakan-akan yang kalah tidak memiliki prestasi. dan itu terus dibawa sampai ke jenjang berikutnya, sampai dewasa, sampai bekerja, sampai dalam kehidupan bermasyarakat.

Kita selalu dituntut lebih unggul dan mengalahkan orang lain. tapi seringkali lupa, hal itu membuat seseorang yang merasa tidak lebih baik menjadi “tidak ingin terlibat”, gagal, minder, kemudian banyak orang-orang yang memilih untuk menjadi pasif. Lupa bahwa sejatinya dalam hidup ini bukan soal unggul mengungguli, tapi semangat kolektif, kebersamaan. Bagaimana kita bisa bersama-sama memecahkan masalah kehidupan.

“Lupa bahwa sejatinya dalam hidup ini bukan soal unggul mengungguli, tapi semangat kolektif, kebersamaan. Bagaimana kita bisa bersama-sama memecahkan masalah kehidupan.”

Sebetulnya pendidikan tidak cukup belajar tentang kurikulum, metode, teknik belajar mengajar, tapi bagaimana seharusnya mewujudkan sistem belajar yang tidak terjerumus dalam kubangan “dehumanisasi”, seperti pertanyaan “mengapa mayoritas masyarakat merasa menderita dan justru ada kelompok masyarakat yang malah menikmati penderitaan itu?” atau “mengapa ada pihak-pihak yang menikmati keuntungan secara tidak adil, dan justru yang menikmati ini kelompok yang lebih sedikit?” ini yang dinamakan ketidakadilan, ini menafikkan harkat kemanusiaan – yang dinamakan dehumanisasi. Sehingga perlu sekali perhatian terhadap karakter, sifat, sikap dasar budi pekerti.

Sikap Dehumanisasi contoh kecil dari Ketidakadilan, Pembaca yang budiman. Kita mengenal keadilan mengandung makna memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere) serta jangan merugikan orang (neminem laedere) dan bertingkah laku yang baik (honeste vivere). Hal dimaksud bermakna bahwa prinsip keadilan berpegang kepada kebenaran serta tidak boleh berbuat sewenang-wenang.

Dalam konteks Kehidupan sehari-hari sebaiknya, prinsip tersebut diatas, sejak usia dini kita terapkan, dimulai dari lingkungan Keluarga, Sekolah, Tempat Kerja, dan lain sebagainya. Hubungan antara Orang Tua dengan Anak, Hubungan antara Pimpinan dengan Staf, dan interaksi sosial antara manusia dengan manusia lainnya.

Hiduplah Berkeadilan, dimulai dari sikap dan perbuatan kita untuk adil dalam segala hal, dengan prinsip memanusiakan manusia. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *