HTML Image as link Qries

Lewis Penanda Tua

(FILES) In this file photo taken on October 7, 2010, McLaren-Mercedes driver Lewis Hamilton (L) of Britain and Mercedes driver Michael Schumacher of Germany attend a press conference ahead of Formula One's Japanese Grand Prix in Suzuka. - Lewis Hamilton on November 15, 2020, won his seventh Formula One world title to equal the all-time record held by Michael Schumacher. (Photo by Jung Yeon-je / AFP)

Lewis Hamilton itu seperti penanda usia bagi saya. Dari semua superstar Formula 1, pembalap Inggris itu mungkin adalah yang paling saya perhatikan karirnya dari awal sampai sekarang. Bukan berarti saya fans berat, tapi kebetulan era menjadikan dia sebagai pengukur umur bagi saya.

Ketika dia memulai karir di F1 pada awal 2007, saya juga terbilang masih muda. Belum 30 tahun. Sekarang, di penghujung 2020 ini, Lewis Hamilton sudah menjadi juara dunia tujuh kali, menyamai rekor Michael Schumacher. Dan sekarang saya sudah berusia (…).

banner 300600

Yang lebih “menyesakkan” lagi, saya punya foto-foto yang membuktikan perjalanan umur saya seiring dengan perkembangan karir Hamilton. Waktu masih aktif meliput dan menjadi komentator F1, saya juga pernah menjadi saksi langsung momen-momen terpenting dalam karirnya.

Saya ingat betul Grand Prix Australia, di Melbourne, pada Maret 2007 itu. Saya berada di sana, meliput bersama rekan di media waktu itu, Nanang Prianto. Juga bersama Bobby Arifin, “tokoh F1” Indonesia yang punya jam terbang di sirkuit F1 lebih banyak dari manusia Indonesia lain.


Lewis Hamilton dan Azrul Ananda di Grand Prix Australia 2007.

Waktu itu, kehadiran Hamilton sudah begitu diantisipasikan. Seorang pemuda kulit hitam (ibunya kulit putih) yang sejak kecil sudah di-grooming untuk jadi seorang juara dunia. Berada di bawah binaan McLaren, di bawah kepemimpinan Ron Dennis (salah satu bos tim idola saya).

Belum pernah ada rookie begitu siap untuk masuk F1. Dengan jam terbang uji coba begitu tinggi, dengan pengalaman lomba begitu komplet –sekaligus berprestasi– di kategori junior.

Hamilton, waktu itu masih “anak-anak” (usia 22 tahun) dengan wajah ceria polosnya, langsung jadi sorotan sejak balapan pertamanya. Saya, Nanang, dan Bobby memastikan kita punya foto bersama dia di Grand Prix Australia itu. Itu bakal jadi catatan sejarah (sekaligus pengukur usia) perjalanan hidup kita.

Dengan ramah, dan tanpa pengawalan siapa-siapa, Hamilton melayani permintaan foto kami. Saya, Nanang, dan Bobby bergantian saling memotretkan di belakang garasi McLaren-Mercedes, di Sirkuit Albert Park.

Tidak lama kemudian, F1 menyelenggarakan sesi uji coba khusus di Sirkuit Sepang, Malaysia. Saya kembali ke sana. Dalam situasi lebih santai, karena tidak terkekang protokol lomba, saya kembali minta foto bareng Hamilton. Beres. Santai. Rileks.


Hamilton dan Azrul di Sirkuit Sepang, Malaysia pada 2007.

Tahun itu pula, Hamilton menggebrak F1. Dia meraih kemenangan pertamanya di Kanada di pertengahan musim. Lalu punya kans jadi juara dunia di penghujung musim, bersaing dengan rekan setim sendiri, Fernando Alonso.

Dalam salah satu lomba terakhir, Grand Prix Tiongkok di Shanghai, saya juga berada di sana untuk meliput langsung. Berharap menjadi saksi sejarah, Lewis Hamilton mengunci gelar juara dunia di musim pertamanya.

Ternyata, balapan itu apes buat kami berdua.

Hamilton melebar di jalur pit, merusak mobilnya. Gagallah dia jadi juara dunia hari itu. Bahkan, dia gagal jadi juara dunia di akhir musim. Fernando Alonso juga gagal. Yang jadi juara dunia justru Kimi Raikkonen (Ferrari), dengan selisih satu poin di atas Hamilton dan Alonso (yang imbang).

Apes saya di Shanghai beda. Sudah bukan rahasia, keamanan di sirkuit itu (bagi pengunjung) tidaklah sebaik kemudian hari. Penonton begitu banyak, sehingga kasus kehilangan barang jadi cerita biasa.

Sebagai peliput, saya tentu meluangkan waktu ke area penonton, mencari bahan tulisan dan memotret suasana di “mal area” tempat penonton berinteraksi dengan booth-booth sponsor dan merchandise.

Saya membawa tas punggung kecil, sekaligus sebuah kamera dengan lensa besar mahal 70-200 mm.

Saat berada di tengah kerumunan, tiba-tiba ada yang mendorong saya dari belakang. Saya berhasil menyeimbangkan diri dan tidak jatuh. Tapi… Lensa saya dicuri orang! Hebat, cepat sekali. Bodi kamera masih saya pegang. Tapi lensanya sudah lepas.

Saya melaporkan kejadian itu ke media center sekaligus pos keamanan Sirkuit Shanghai. Namun saya sudah siap dengan kenyataan, merelakan lensa mahal itu hilang.

Untung waktu itu ada rekan saya, Dewo Pratomo, juga membawa kamera. Lensanya saya pinjam untuk sisa liputan di sirkuit.


Hamilton dan Azrul kembali bertemu di GP Tiongkok 2007.

Dalam tahun-tahun kemudian, berkali-kali saya meliput F1 dan berjumpa dengan Hamilton. Hampir tidak pernah lagi minta foto bareng. Karena foto paling “mahal” saya sudah punya, saat dia masih menjalani debutnya.

Kemenangan demi kemenangan, gelar demi gelar, diraih oleh Hamilton. Pembawaannya di sirkuit jadi jauh beda dengan waktu masih “imut” 2007 itu.

Lama-lama, saya merasa Hamilton seperti bintang hip-hop, bukan bintang balap. Selalu ada bodyguard di dekatnya. Dengan galak mengingatkan segala orang yang ada di dekatnya. “Jangan sentuh dia!” begitu sentak sang bodyguard kepada orang-orang yang ingin berfoto dengan Hamilton.

Dalam hati saya, Michael Schumacher saja dulu tidak sampai begitu. Padahal, secara pribadi saya lebih ngefans pada Hamilton daripada Schumi!

Semakin lama, semakin banyak pula “bling-bling” pada tubuh Hamilton. Begitu pula tatonya. No problem, banyak bintang olahraga dan musik memang seperti itu. Lagi-lagi, makin jauh dengan Hamilton pada 2007, yang masih memiliki rongga di antara dua gigi depannya!

Dan tahun ini, Hamilton yang makin beda kelihatan. Berkat pandemi, F1 jadi lebih tertutup. Jadi tentu Hamilton tak perlu lagi punya pengawalan ketat. Hanya ada seorang asisten perempuan (yang kini juga kondang).

Hamilton tahun ini “aktivis” banget. Ikut bersuara lantang menanggapi ketidakadilan ras, khususnya terhadap warga kulit hitam, di Amerika Serikat. Sampai-sampai, FIA harus mengeluarkan aturan baru, melarang pemakaian kaus apa pun dalam acara podium.

Bagi banyak orang, sikap Hamilton ini tentu sangat berharga dan berarti. Saya juga sangat mengapresiasi sikapnya dalam menentang rasisme.

Tapi entah apa ya, Hamilton yang ini bukanlah Hamilton yang saya sukai dulu. Kok saya justru jadi makin apresiatif terhadap Michael Schumacher.

Jangan salah, Hamilton ini talenta yang begitu luar biasa. Kemenangannya di Turki Minggu lalu (15 November) menunjukkan kelasnya sebagai juara dunia tujuh kali. Bisa merebut kemenangan dalam cuaca buruk, di saat mobilnya tidak sedang dominan.

Tapi entahlah. Ada yang kurang sreg di hati saya. Apa karena saya dari dulu tidak suka pembalap dan tim yang dominan ya? Karena dulu saya juga bukan pendukung Schumi dan Ferrari saat mereka menguasai F1.

Setelah saya pikir-pikir, dan diskusi dengan beberapa teman penggemar F1 lain, memang ada yang sedikit beda antara Hamilton dan Schumi.

Schumi dulu harus membangun Ferrari dari nol, atau dari minus, sebelum menjadi begitu dominan. Hamilton, ketika ke McLaren pada 2007, mobilnya sudah perkasa. Lalu dia pindah ke Mercedes pada 2013, saat Mercedes juga mulai perkasa. Dan Mercedes itu dibangun pula oleh seorang Schumi.

Jadi, walau secara statistik Hamilton menyalip Schumi, dan kelak akan terus menambah rekornya, ada satu hal yang Hamilton masih “kalah” dari Schumi. Yaitu membangun tim dari jelek menjadi juara.

Mungkin, itu yang membuat saya merasa “agak kurang” pada Hamilton… (azrul ananda)

CATATAN: Salah satu penyesalan saya selama belasan tahun meliput F1 adalah… Tidak pernah minta foto bareng Michael Schumacher secara apik!

 

Sumber: happywednesday.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *