HTML Image as link Qries

Rasisme Itu Senyap

harvard.edu
harvard.edu

Rupanya orang capek juga bicara soal virus. Kemudian bicara soal kerusuhan. Kemudian menyinggung soal rasisme. Ada yang tanya ke saya, apakah benar rasisme masih begitu kuat di Amerika Serikat? Dan waktu saya tujuh tahun tinggal di sana, apakah saya pernah merasakannya?

Ini jawabannya tidak hitam putih.

banner 300600

Tidak ada jawaban absolute.

Kalau bilang Amerika masih rasis, apakah itu berarti lebih buruk dari kita? Bahkan jangan-jangan rasisme itu jauh lebih buruk di tempat kita sendiri, hanya kebetulan tidak meledak, tidak difilmkan, tidak jadi pusat perhatian dunia seperti apa yang terjadi di Amerika sekarang.

Jadi, saya tidak mau bilang hitam atau putih. Rasis atau tidak. Ya, di mana-mana pasti ada elemen rasisme. Kadang meletup, kadang tidak.

Apakah saya pernah merasakannya? Jujur ya. Tapi tidak kasar, tidak keras. Sangat halus. Padahal, kalau dipikir, sangat besar potensi saya merasakan itu.

Waktu umur 16 tahun, tahun 1993 sebagai pertukaran pelajar, saya tidak bisa memilih mau sekolah SMA di mana. Saya ditempatkan di Ellinwood, Kansas, sebuah kota yang penduduknya waktu itu hanya 2.800 orang. Luas kotanya hanya 1 mile square, alias 1,6 km kali 1,6 km. Itu saja.

Dari seluruh warga kota, hanya ada satu keluarga kulit hitam.

Kedatangan saya membuat saya satu-satunya orang Asia di situ.

Bahkan, dalam radius 100 mil, saya mungkin satu-satunya orang Asia.

Sisanya putih banget.

Dan ini benar-benar di “pedalaman” Amerika. Banyak anak muda di sana belum pernah melihat pantai atau laut.

Ya, orang mungkin agak aneh ketika melihat saya kali pertama. Wajah Asia tapi kulit agak gelap. Tapi saya sama sekali tidak pernah merasakan rasisme itu. Mungkin ada yang bisik-bisik atau bagaimana, tapi saya sama sekali tidak pernah merasakannya.

Kemudian saya kuliah di Sacramento, ibu kota California. Negara bagian yang begitu plural, semua jenis manusia ada di sana. Sekali lagi, secara umum saya tidak pernah merasakan rasisme.

Tapi yang “nyerempet” itu ada. Waktu di kafetaria kampus, saat akan membuang makanan ke tempat sampah, saya harus bergantian dengan seorang pemuda kulit putih. Saya mempersilakan dia duluan, karena dia memang agak duluan.

Begitu membuang makanannya, dia mengucapkan sesuatu. Sekilas saya anggap itu ungkapan normal. Semacam terima kasih dari dalam hati paling dalam. Dan di Amerika, ucapan terima kasih itu sangat normal dilakukan. Indonesia kalah jauh. Ungkapan normalnya: “Thank you from the bottom of my heart.”

Baru beberapa saat kemudian saya sadar kalau ucapan pemuda tadi dipelintir. Menjadi: “Thank you from the heart of my bottom.”

Kurang ajar! Kata saya dalam hati beberapa saat kemudian.

Mungkin, itu termasuk tindakan rasis. Walau levelnya hanya mencoba menyindir. Dan karena saya tidak diapa-apakan, dan itu sambil lalu, ya sudah saya cuekin saja.

Sekali lagi, secara umum, saya tidak merasakannya. Apalagi itu zaman Bill Clinton jadi presiden. Waktu zaman dia, penekanan soal hubungan antara ras sangat kuat. Ajaran utama di sekolah selalu: Amerika itu seperti semangkuk salad. Isinya berbagai macam jenis sayur (manusia), tapi sehat dan bermanfaat ketika dijadikan satu.

Juga ada gerakan affirmative action, di mana sebuah institusi harus memastikan ada pemerataan peluang untuk berbagai jenis ras. Harus ada kulit hitamnya, harus ada Latinnya, Asianya, dan lain-lain.

Tentu saja, rasisme itu tidak bisa “disembuhkan” lewat program-program pemaksaan. Perkembangan belakangan ini menunjukkan itu. Selalu ada satu atau dua yang akhirnya meletup, dan akhirnya bisa menjadi keramaian besar seperti yang terjadi di Amerika sekarang.

Mungkin, seluruh dunia sekarang sedang fokus dan simpati pada George Floyd, yang meninggal karena ulah berlebihan seorang polisi. Tapi, pada hari yang sama dengan matinya Floyd, contoh rasisme juga meletup di Central Park, New York. Tidak ada yang mati, tapi menjadi pemicu kuat, bahkan mungkin jadi contoh lebih umum, tentang masih ada rasisme di sana.

Hari itu, seorang perempuan kulit putih, Amy Cooper, 41, membawa anjingnya ke Central Pak untuk jalan-jalan. Mereka masuk ke kawasan khusus bernama Ramble. Aturan di kawasan itu, anjing harus diikat dan dikendalikan pemiliknya. Amy Cooper tidak melakukan itu.

Seorang pria kulit hitam lantas menegur Amy Cooper. Mengingatkannya untuk mengikat anjingnya. Karena itu melanggar hukum. Kalau ingin anjingnya bebas berkeliaran, bisa pindah ke kawasan lain.

Pria kulit hitam itu juga sedang di Central Park, menikmati hobinya sebagai pemerhati burung. Namanya Christian Cooper. Usia 57 tahun. Nama belakang mereka sama, tapi mereka sama sekali tidak berkaitan (ironis!).

Perdebatan pun terjadi. Christian menyalakan hapenya, merekam segala tindakan Amy. Lantas, Amy meminta Christian mematikan hapenya. Mengancam akan melaporkan ke polisi, bahwa “ada pria kulit hitam” mengganggunya. Ya, dengan tegas menyebut kata “pria kulit hitam” (istilah yang dipakai African American).

Amy pun menelepon polisi. Dengan nada seolah menjadi korban, dia melaporkan bahwa ada pria kulit hitam mengganggunya di Ramble.

Pada akhirnya, ketika polisi datang, mereka memang menyebut ini sebagai perdebatan saja. Tidak ada yang perlu ditindak. Tapi, video rekaman itu lantas menyebar luas di internet. Disebarkan oleh saudari Christian.

Banyak orang marah besar. Menganggap video rekaman itu adalah bukti konkret sikap rasis. Amy Cooper menggunakan statusnya sebagai perempuan kulit putih, melaporkan kepada polisi bahwa seorang kulit hitam mengancamnya. Istilah yang populer: Amy Cooper menggunakan polisi sebagai senjata untuk berbuat sesuatu pada Christian Cooper.

Bahwa polisi akan langsung bertindak karena yang mengancam adalah kulit hitam. Dan kalau pembaca melihat video rekamannya, jelas sekali bagaimana Amy Cooper menggunakan nada bicara untuk memastikan polisi paham bahwa yang mengancam adalah kulit hitam.

Kejadian ini sangat viral di Amerika.

Karena ternyata, Christian Cooper itu sebenarnya lulusan Harvard, dengan pekerjaan penulis (termasuk untuk Marvel). Sangat berpendidikan. Dan awal mula debatnya, memang Amy Cooper yang melanggar hukum dengan membiarkan anjingnya berkeliaran bebas.

Untung waktu itu polisi yang datang tidak seperti Derek Chauvin. Tidak terjadi apa-apa pada Christian Cooper.

Saking viralnya, Amy Cooper lantas dipecat dari kantornya sebagai seorang manager perusahaan keuangan. Anjingnya diambil, dia tidak boleh lagi mengasuhnya. Sanksi sosial lebih seram, kabarnya Amy sampai dapat ancaman mati.

Amy Cooper tentu minta maaf secara resmi. Nasi sudah jadi bubur.

Christian Cooper juga memaafkan, dan menyebut sebenarnya kejadian ini tidak perlu sampai harus menghancurkan hidup Amy Cooper. “Siapa saja bisa membuat kesalahan. Belum tentu kesalahan rasis, tapi membuat kesalahan,” ucapnya seperti dilansir New York Times.

Kejadian antara dua Cooper ini benar-benar menunjukkan lagi bagaimana sikap rasis masih bisa muncul kapan saja di mana saja. Lebih dahsyat lagi ketika terjadi di hari yang sama dengan saat George Floyd menjadi korban kekerasan.

Rasisme sikap/omongan, rasisme tindakan kejam, terjadi pada hari yang sama. Terekam dan tersebar secara viral. Di tengah situasi dunia sedang tertekan, baik secara kesehatan maupun secara ekonomi.

Kembali ke pertanyaan di awal, apakah itu berarti Amerika sangat rasis? Entahlah. Tapi, serasis apa pun itu, kita tetap harus berkaca pada diri kita sendiri juga. Apa hak kita menghina dan mencerca. Apakah kita lebih baik dari mereka?

Mungkin, di tempat kita tidak ada kejadian yang bikin meletup. Tapi, hening bukan berarti baik.

Saya ingin mengutip komedian yang belakangan jadi idola baru saya, Bill Burr. Dia punya banyak stok komedi soal ras. Dan dia sangat enteng melakukannya, karena dia itu putih sekali (asal Boston, rambut merah pula), tapi dia punya istri kulit hitam. Sehingga ketika dia menggunakan gurauan ras, baik kulit hitam dan putih sama-sama bisa tertawa.

Dalam salah satu show-nya, Burr menyindir betapa banyaknya film Amerika yang menggambarkan kulit putih itu rasis. Dan menunjukkan karakter kulit putih yang rasisnya blakblakan.

Kata dia, itu berlebihan, dan itu tidak lagi realistis.

“Rasis yang sebenarnya itu senyap. Orang melihat sekeliling dulu, memastikan lingkungannya aman,” ucap Burr. Kemudian, kata Burr, orang itu akan menyatakan dulu kalau dia tidak rasis, baru kemudian menghina kelompok ras lain secara blakblakan.

Rasisme itu senyap. Rasisme itu munafik.

Mari kita berkaca dulu. Bukan hanya melihat sekeliling kita, menuding atau menyalahkan orang lain. Mari kita lihat diri kita sendiri dari lubuk hati yang paling dalam. Bukan dari lubuk paling dalam dari bagian belakang kita sendiri. (azrul ananda)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *