HTML Image as link Qries

Tak Ada Raja Dalam Penerbangan

Oleh: Isbedy Stiawan ZS

Pemeo bahwa pembeli adalah raja, tidak berlaku dalam usaha transportasi. Utamanya dalam penerbangan.

banner 300600

Penumpang menjadi orang yang selalu siap menerima keputusan atau ketentuan dari maskapai. Contoh kecil, penumpang (katakanlah pembeli jasa) akan menerima jika jadwal dimajukan, delay, bahkan ditiadakan apabila kuota tak mencukupi.

Harga tiket yang bisa segera dan tiba-tiba berubah naik pu, penumpang hanya bisa mengeluh dalam batin (gumam?). Termasuk diberlakukan biaya bagasi yang nyaris menyamai harga tiket.

Mau menolak? tanya kawan saya. Bikin maskapai penerbangan sendiri. Atau ganti alat transportasi: dari pesawat ke bus atau kapal laut.

Tidak ada sikap untuk menolak. Misalnya tak mau membayar bagasi. Ngotot dengan pegawai maskapai, lalu penumpang menang dan maskapai kalah. Tidak berlaku itu. Setelah barang bawaanmu ditimbang, pegawai maskapai di konter akan menjelaskan nominal harga bagasi. Lalu bayarlah kita.

Kawan saya dengan bangga (?) harus membayar kopernya yang dititip di bagasi seharga Rp320 ribu saat pergi, kemudian pulang dikenai Rp360 ribu lantaran barang bawaan bertambah: oleh-oleh dan sebagainya.

Begitu pun kasus telantarnya penumpang Sriwijaya sehari ini yang sedang heboh, hingga mengahruskan Menteri Perhubungan turun tangan. Muasalnya adalah soal kerja sama maskapai Sriwijaya dan Garuda belum ada kesepakatan baru. Kedua maskapai itu memang diketahui menjalin kerja sama.

Polemik Garuda-Sriwijaya menyeret nasib penumpang yang notabene pembeli dalam ranah jual-beli. Penumpang tidak bisa diberlakukan sebagai raja dalam polemik tersebut.

Meskipun Sriwijaya mengklaim akan mengganti biaya tiket, memberi fasilitas hotel dan makan bagi penumpang yang tertunda/batal penerbangannya. Tetapi, secata materil dan waktu di pihak penumpang dipastikan merugi lebih besar, boleh jadi sulit dinominalkan dengan angka-angka.

Maka, apa pun kelalaian ataupun kebijakan maskapai, dampak kerugian akan bertumpu pada penumpang. Bahkan, ketika kecelakaan, semoga tak terjadi dalam penerbangan di Tanah Air, penumpang yang dirugikan.

Kawan saya berujar, mungkinkan masyarakat protes dengan melakukan mogok tak mau naik pesawat. Karena bukankah pilihan transportasi banyak?

O tak bisa, sanggahku. Orang memilih penerbangan lantaran bisa meringkus waktu. Kalau bisa cepat dan aman sampai tujuan, kenapa memilih yang berpuluh-puluh jam di perjalanan?

Kalau kamu bisa menempuh waktu hanya 45 menit, mengapa mau di jalan lima sampai 8 jam dalam perjalanan.

Kalau kau ke Tanah Suci bisa ditempuh pesawat cuma 8 jam, masak ya mau naik kapal yang bisa sepekan atau bahakan lebih di lautan, plus mabuk dan sakit?

Meski begitu, kawanku berharap kebijakan maskapai yang selalu sepihak mendapat pengawasan dan pengawalan pemerintah. Pemerintah bisa menjewer atau menyetop “surah jalan” maskapai jika macam-macam.

Tetapi apa ya, penguasa punya kekuatan di hadapan pengusaha penerbangan dan transportasi lainnya?

Ini masalahnya. Begitu mengular, seperti lingkaran setan. Rumit? Entahlah

 

*) Penyair Lampung, Pengampu Lamban Sastra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *