HTML Image as link Qries

Buku Membongkar ‘Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia’ Diluncurkan di Unila

(Kiri ke kanan) Darmawan Purba (Sekjur JIP FISIP Unila), Dr. Remy Limpach, R Sigit Krisbintoro (Kajur Ilmu Pemerintahan Fisip Unila), Arizka warganegara PhD., dan perwakilan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Foto Istimewa
(Kiri ke kanan) Darmawan Purba (Sekjur JIP FISIP Unila), Dr. Remy Limpach, R Sigit Krisbintoro (Kajur Ilmu Pemerintahan Fisip Unila), Arizka warganegara PhD., dan perwakilan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Foto Istimewa

radarcom.id – Sejarawan Swiss-Belanda Dr. Remy Limpach hadir di Bumi Ruwa Jurai. Dijadwalkan, Senin (30/9) pukul 09.00 WIB akan memberikan kuliah umum sekaligus peluncuran buku berjudul ‘Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia (Perang Kemerdekaan 1945-1949) karya Remy Limpach di Gedung D.3.1 kampus Universitas Lampung.

Akademisi Unila Arizka Warganegara PhD., dan Budi Kurniawan M.PP., yang akan menjadi moderator acara. Arizka mengatakan bahwa buku ini ditulis oleh Dr. Remy Limpach dan diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

banner 300600

“Tujuan dari kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa mengenai pentingnya mengetahui sejarah bangsa agar mahasiswa lebih kritis. Selain itu, juga sebagai kuliah tambahan selain kuliah yang didapatkan sehari-hari. Juga untuk meningkatkan cara berfikir mahasiswa dalam memahami sejarah bangsa,” terang Arizka kepada radarcom.id, Minggu (29/9).

Menurut Arizka, buku ini mengupas tentang kekerasan Belanda di Indonesia selama perang kemerdekaan.

Aksi kekerasan yang insidental atau tindak ekstrem non struktural? Sejak 1969, Pemerintah Belanda berpendirian bahwa angkatan bersenjata dibawah Komandan Tentara Spoor secara keseluruhan telah bertindak secara tepat selama perang kemerdekaan Indonesia(1945-1949). Ekses-ekses insedental terjadi hanya sewaktu-waktu di beberapa unit khusus yang kecil, seperti dinas-dinas intelijen dan satu-satuan komando Kapten Westerling.

Menurut Belanda, praktik kekerasan ini juga hartus dipahami dalam konteks muslihat perang yang lepas kendali di pihak Indonesia. Dengan alibi itu, maka perbuatan-perbuatan kekerasan berlebih seperti pembantaian, penyiksaan, pembakaran, dan penjarahan hanya dipandang sebagai pengecualian semata.

Hal ihwal ini tidaklah terjadi secara sistematis. Melalui siasat untuk menutupi fakta ini dan masyarakat Belanda yang diam, konflik itu dalam jangka yang lama dinilai sebagai perang yang relatif bersih.

Namun, sejarawan Swiss-Belanda Remy Limpach dalam buku ini sukses melakukan pembuktian terbalik. Penelitian ini semula dilakukan untuk penulisan disertasinya yang diterbitkan pada 2016.

Limpach mendedahkan bahwa militer Belanda di Indonesia tidak melakukan tindakan kekerasan ekstrem yang incidental, melainkan aksi kekerasan ekstrem yang struktural.

Dari buku yang cemerlang ini terbukti, bahwa laku kekerasan ini digunakan oleh koalisi-koalisi yang terkelindan antara para pelaku militer dan sipil dari berbagai jenjang pangkat. Ulah kekerasan eksesif yang disetujui oleh elite militer yang masabodoh, juga bukanlah fenomena kebetulan, tetapi sudah meresap dalam warna-warni mentalitas struktural dan budaya ayng mendorong terjadinya perilaku kekerasan dari angkatan bersenjata Belanda.

Riset sejarah Limpach ini didasarkan pada sejumlah besar sumber resmi dan khusus yang langka digunakan oleh para sejarwan sampai sekarang. Buku ini merupakan ringkasan dari disertasi tebal yang meneliti tindakan kekerasan ekstrem Belanda yang didasarkan pada empat studi kasus, yakni menurut bentuk-bentuk, upaya menutup-nutupi, penghukuman dan motifnya.

Disamping itu, juga dibahas tentang bergulirnya perang Belanda-Indonesia, penyebab, dan pertanggungjawan atas tindak kekerasan masal oleh Belanda. Sekitar 5 ribu prajurit Belanda dan setidaknya 100 ribu orang Indonesia tewas akibat perang Belanda-Indonesia. Pada pertempuran ini, Belanda mengerahkan tidak kurang dari 220.000 tentara ke medan laga, yang menjadi perang terbesar di seberang lautan dalam sejarah Belanda.

Bagi Indonesia, yang melancarkan perang rakyat semesta dalam masa konflik itu, kemenangan pada 27 Desember 1949 membawa Indonesia pada kepastian kemerdekaan yang di proklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945.

Dalam beberapa decade terakhir, di Belanda, terjadi debat publik mengenai perang kemerdekaan Indonesia yang berfokus pada penggunaan aksi kekerasan yang ekstrem. Untuk waktu yang lama, kesadaran bahwa tindak kekerasan ini juga merupakan bagian dari sejarah nasional Belanda tersumbat oleh pemikiran khalayak, bahwa peran pelaku tidak sesuai dengan citra diri orang Belanda. Sejak perang Dunia kedua, di Belanda hanya ada ruang untuk berperan sebagai pihak yang menjadi korban. Akan tetapi, pelbagai pembongkaran melalui media, perkara-perkara hukum, permintaan maaf resmi, pameran-pameran, literatur, dan penelitian historigrafi seperti tertulis dalam buku ini, perlahan-lahan membuat citra diri Belanda mulai goyah. (rci/rci)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *