HTML Image as link Qries

Hakim MK Sebut Kubu Prabowo Tak Bisa Buktikan Ada Politik Uang

Sejumlah saksi dihadirkan oleh Kuasa Hukum TKN Jokowi - Maaruf Amin selaku pihak terkait pada sidang lanjutan terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat, 21 Juni 2019. Kuasa Hukum pihak terkait menghadirkan dua saksi Fakta dan dua saksi ahli pada sidang lanjutan. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Sejumlah saksi dihadirkan oleh Kuasa Hukum TKN Jokowi - Maaruf Amin selaku pihak terkait pada sidang lanjutan terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat, 21 Juni 2019. Kuasa Hukum pihak terkait menghadirkan dua saksi Fakta dan dua saksi ahli pada sidang lanjutan. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

radarcom.id – Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyebut tim kuasa hukum Prabowo Subianto – Sandiaga Uno hanya mendasarkan dalil kecurangan money politic (politik uang) dan vote buying (jual beli suara) dengan penalaran logika, tanpa ada bukti hukum.

Hakim mengatakan mereka tak mungkin membenarkan dalil tersebut. “Sangat tidak mungkin bagi mahkamah untuk membenarkan dalil pemohon a quo bahwa hal-hal yang didalilkan tersebut merupakan modus lain dari money politic atau vote buying,” kata anggota majelis hakim Arief Hidayat dalam persidangan, Kamis (27/6/2019) dikutip Tempo.

banner 300600

Kubu Prabowo sebelumnya mempersoalkan tujuh poin soal penyalahgunaan APBN dan program kerja pemerintah. Tujuh persoalan itu adalah: Menaikkan gaji PNS, pensiunan, TNI, dan Polri Rp 2,61 triliun; Menjanjikan Pembayaran Gaji ke 13 dan THR lebih awal Rp 40 triliun; Menaikkan gaji perangkat desar Rp (kurang-lebih) 114 miliar.

Kemudian, menaikkan dana keluaran Rp 3 triliun; Mencairkan dana bansos Rp 15,1 triliun; Menaikkan dan mempercepat penerimaan PKH Rp 34,4 triliun; Menyiapkan skema rumah DP 0% untuk ASN, dan Polri Rp 100 triliun.

Namun, menurut hakim mereka tidak dapat membuktikan petitum tersebut. Hakim mengatakan tim hukum Prabowo hanya menyebut menggunakan penawaran dalam bentuk frasa, seperti “alur logika rasional yang wajar” dan “tidak sulit dimengerti”.

Maka konsekuensinya menjadi tidak jelas. Apakah hal-hal yang didalilkan itu merupakan modus baru dari money politic atau vote buying. Terlebih pemohon juga, kata dia, tidak membuktikan secara terang hal yang didalilkan itu.

“Oleh karena itu dengan hanya bertolak dari penalaran logika semata-mata ditambah dengan ketiadaan pengertian hukum yang diajukan oleh pemohon dengan apa yang dimaksud dengan money politic dan vote buying, sementara substansi yang dipersoalkan dengan menyangkut bersifat faktual,” kata Arief. (tmp/rci)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *