HTML Image as link Qries

Aladdin: Sudut Pandang Laki-laki

Mena Massoud sebagai Aladdin bersama Will Smith pemeran Genie dalam film Disney's "Aladdin," yang disutradarai Guy Ritchie.
Mena Massoud sebagai Aladdin bersama Will Smith pemeran Genie dalam film Disney's "Aladdin," yang disutradarai Guy Ritchie.

Oleh: Azrul Ananda

Selamat datang di era “regenerasi konsumen” ala Disney. Film-film kartun klasik yang populer puluhan tahun lalu sekarang kembali dibuat dalam versi live action.Cinderella sudah. Beauty and the Beast sudah. Dumbo sudah. Sleeping Beauty dimodif jadi Maleficent. Dan sekarang Aladdin. Setelah ini masih ada Lion King dan Mulan.

banner 300600

Mereka yang menggandrungi kartun-kartun lama itu sekarang sudah dewasa, bahkan sudah tua. Disney butuh konsumen-konsumen baru untuk menjamin masa depan.

Pada 2017 lalu, Beauty and the Beast membuat saya meneteskan air mata haru. Film yang begitu indah dan romantis. Nostalgia lama masih terasa, sentuhan modern dan lagu baru bikin makin manis.

Tahun ini, giliran Aladdin.

Waktu dulu diumumkan Aladdin bakal dibuat versi live action-nya, saya sempat punya ekspektasi tinggi. Dari film-film kartun lama Disney, mungkin Aladdin adalah favorit saya.

Mendiang Robin Williams begitu spektakuler mengisi suara Genie. Lagu A Whole New World begitu relevan buat saya waktu itu, karena punya mimpi keliling dunia melihat hal-hal yang tidak normal dilihat orang.

Plus satu lagi alasan spesial: Walau waktu itu saya masih kelas 5 SD, nonton Aladdin adalah pengalaman pertama nonton di bioskop bareng cewek yang saya taksir. Wkwkwkwk

Tidak murni berduaan. Ada teman-teman lain. Tapi bisa duduk di sebelah dia pas nonton… Waaaaa… Wkwkwkwk

Tahun ini, saya menontonnya bersama istri… Dan tiga anak.

Ketika menonton, rasa nostalgia terus terasa. Bagaimana pun, adegan-adegan dan alur ceritanya tetap berdasarkan kartun lama. Dengan sentuhan-sentuhan menyesuaikan dengan selera dan situasi modern. Yang paling kentara: Princess Jasmine sekarang perutnya tidak kelihatan…

Saat menonton, saya merasakan betapa terhiburnya orang-orang dengan film ini. Menurut saya, Mena Massoud solid jadi Aladdin. Naomi Scott dahsyat jadi Jasmine, dan dia bisa nyanyi!

Will Smith? Nah ini saya merasa agak aneh. Saya masih terlalu terpengaruh oleh suara Robin Williams, dan betapa dinamiknya karakter Genie di film kartun lama.

Will Smith tidak jadi Genie di film baru ini. Justru Genie yang jadi Will Smith! Ini bukan hal buruk, dan mengalahkan performa Robin Williams bukanlah hal mudah.

Saya sama sekali tidak mempermasalahkan performa Will Smith. Karena mungkin tidak ada orang lain yang bisa mengisi peran ini sebaik Smith, dengan Robin Williams sebagai pembanding.

Kalau ada salah casting, menurut saya bukan pada bintang-bintangnya. Menurut saya yang agak miss adalah sutradaranya. Guy Ritchie lebih dikenal dengan film-film action dan “laki-laki.” Adegan-adegan action di Aladdin memang top, tapi adegan-adegan romantisnya jadi agak “hampa.”

Adegan Aladdin (sebagai Prince Ali) dan Jasmine terbang naik magic carpet terasa ada yang kurang. Saya mencoba membandingkan dengan adegan dansa di Beauty and the Beast, yang begitu indah dan romantis. Adegan selevel di Aladdin ini serasa “kurang romantis.”

Dunia di dalam film, dengan istana, pawai, dan lain-lainnya, juga terasa kurang anggun dan elegan. Kaya warna dan lain sebagainya, tapi tidak terasa detail elegan seperti Beauty and the Beast.

Apakah ini gara-gara sutradaranya “laki banget”? Sedangkan sutradara Beauty and the Beast, Bill Condon, punya persepsi lebih elegan karena dia gay?

Entahlah. Saya bukan pakar film. Tapi seperti ada kurang “sentuhan akhir” pada Aladdin.

Sebagai orang yang selalu berkutat di dunia kreatif, saya selalu memikirkan “sentuhan dan sudut pandang” laki-laki atau perempuan ini. Misalnya di dunia media dulu, karakter berita tertentu akan lebih cocok di-handle oleh editor perempuan. Lalu, acara atau event tertentu akan lebih cocok dipegang oleh perempuan.

Lihat juga kota-kota yang ada di Indonesia. Surabaya indah karena wali kotanya perempuan dan sangat peduli dengan lingkungan. Kota lain banyak yang mengklaim punya program kebersihan dan pertamanan hebat, tapi pada akhirnya tidak bisa “indah” karena wali kotanya laki-laki.

Soal film pun, saya tegaskan, terasa sama. Wonder Woman terasa pas dan kuat karena sutradaranya perempuan. Ketika karakter yang sama ditampilkan di Justice League, dengan sutradara laki-laki, jadinya agak beda. Tiba-tiba kita jadi lebih sering melihat bagian belakang atau dada Gal Gadot!

Anyway, komentar saya secara umum tidaklah penting bagi Disney. Juga belum tentu sama dengan kebanyakan orang. Film ini tetap akan superlaku di pasaran. Lagu baru Speechless yang dilengkingkan Naomi Scott akan jadi lagu superpopuler.

Naomi Scott juga akan jadi superstar.

Film Aladdin tetap akan memberi efek bisnis panjang bagi Disney. Banyak fans baru sekarang kenal Aladdin dan Jasmine, dan akan terus menyukainya hingga kelak waktunya diregenerasi lagi.

Adegan-adegan di Aladdin juga memberi peluang untuk Disney meraup uang di dunia lain. Adegan terbang naik magic carpet, sangat mudah diterapkan menjadi wahana hiburan di Disneyland.

Bahkan parade perkenalan Prince Ali di hadapan Jasmine juga sangat mudah diterapkan sebagai parade acara rutin di Disneyland.

Merchandise? Tak perlu ditanya lagi. Disney juara dunia dalam hal merchandising.

Disney memang luar biasa. Mereka pintar terus meregenerasi konten dan penggemar. Dan mereka punya penggemar terbaik: Penggemar yang mau terus mengeluarkan uang! (azrul ananda)

 

Sumber: happywednesday.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *